Oleh: Aziza Nurul Amanah (Alumnus 2014-2015)
Mahasiswi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tulisan ini dimuat dalam buku “50 Hidayah Merajut Perguruan Tinggi”, Penerbit Gramedia, Cetakan 2015.
__________________
Tak terasa tinggal menghitung hari lagi aku berada di sini, menikmati minggu terakhir berada di Ma’had tercinta ini. Aku akan mengakhiri cerita dan kisah yang telah terukir dimana aku merasakan proses pembelajaran. Suka duka telah ku lewati, dan kini adalah masa dimana aku harus melanjutkan studi ku untuk menuju gerbang cita-citaku. 4 bulan telah aku lewati penuh dengan perjuangan. Dimana aku harus benar-benar berjuang untuk mengikuti berbagai ujian yang akan ku hadapi. Mulai dari ujian Pondok, ujian praktek, ujian nasional, ujian Madrasah dan ujian makalah.
Tidak hanya sebatas itu saja, kami juga harus mempersiapkan ujian untuk menuju universitas yang kami inginkan. Dan ini adalah sebuah perjuangan yang luar biasa yang tidak akan pernah di dapatkan di sekolah lain, melainkan hanya ada di Pondok Pesantren tertentu saja. Ujian ini adalah salah satu syarat agar kami dapat lulus dengan baik, tidak hanya lulus Ujian Nasional dan Ujian Pondok saja, tetapi kami pun dituntut untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah kami peroleh di Pesantren.
Saat ini aku dan teman-teman seangkatan akan berjuang untuk menembus PTN yang kami harapkan, berbagai usaha kami lakukan. Mengikuti SNMPTN dan PBSB dari Kemenag. Namun hanya ada sekitar 2 teman seangkatan yang lulus di Universitas favorit mereka melalui jalur SNMPTN, untuk jalur PBSB dari Kemenag hanya lulus 1 orang di Prodi Ilmu Keperawatan di UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA. Sementara kami harus berjuang mengikuti usaha yang lain, selanjutnya kami mengikuti SBMPTN dan UMPT-KIN. Kali ini kami harus benar-benar berusaha, karena tantangan dan peluang kami hanya sedikit. Sementara saingan kami dari berbagai sekolah menengah atas dari seluruh indonesia sangatlah banyak.
Kami juga harus bertentangan dengan pengurus staf Pondok karena mereka tidak mengizinkan kami untuk mengikuti ujian SBMPTN, dengan alasan kami diwajibkan untuk mengabdi terlebih dahulu di Pondok Pesantren yang ditentukan. Namun, kami tak putus asa berbagai cara kami lakukan, kami harus membuktikan bahwa lulusan pesantren juga bisa masuk di Universitas Negeri dengan jurusan umum, tidak mesti harus selalu Agama atau Dakwah.
Kali ini kami berhasil menunjukan bahwa kami bisa menunjukkan bahwa kami mampu bersaing dengan alumnus sekolah umum. Sekitar 15 teman seperjuangan lulus di Universitas Negeri di berbagai wilayah Nusantara. Namun keberuntungan tidak berada dipihak ku, kali ini aku harus bersabar dan ikhlas menerima, mungkin karena usaha ku kurang, sehingga aku belum bisa untuk lulus di Universitas yang di harapkan. Akhirnya aku sangat bingung, aku harus kemana?. Namun aku tidak berputus asa, walaupun aku harus sedikit kecewa. Aku berfikir husnuzon saja, mungkin tahun ini Allah belum mengizinkanku untuk melanjutkan keperguruan tinggi. Aku berfikir apa yang harus ku lakukan sekarang? Untuk mencari solusi agar waktu ku tidak terbuang begitu saja, sebenarnya masih ada jalur mandiri untuk masuk ke Universitas yang ku inginkan.
Namun, aku tidak berminat jika aku masuk di fakultas lain, karena aku berharap bisa masuk di dunia kesehatan. Disamping itu aku harus memikirkan keuangan keluarga ku, karena biaya perkuliahan melalui jalur mandiri sangat lah mahal, terutama jika mengambil jurusan di dunia kesehatan. Sementara ekonomi keluarga tidak mencukupi untuk membiayai kuliah ku. Aku harus bisa meringankan beban orang tua. Mungkin tahun ini lebih baik aku tunda saja pendidikan ku, sebagai solusinya aku ingin kembali merantau untuk menimba ilmu lagi di Pesantren.
Aku merasa ilmu ku sangatlah minim selama 3 tahun di pesantren. Aku ingin mempelajari lebih dalam lagi ilmu Agama. Aku berencana ingin nyantri di Pondok Pesantren di Yogyakarta sekaligus mengabdi disana, namun Ibuku belum memberikan aku izin, Ibu tetap menginginkan aku kuliah. Tetapi kali ini aku belum berminat dan harus berfikir ulang.
Dengan penuh harapan aku berdoa kepada sang Murobbi semoga Ibu bisa memberiku izin untuk kembali menyantri. Dan Alhamdulillah setelah dua minggu kemudian Ibu dan Ayah memberi izin kepada ku untuk nyantri kembali, dengan syarat tahun depan aku harus kuliah. Mungkin ibu takut andaikan aku tidak kuliah aku akan minder sama saudara-saudaraku yang telah melanjutkan pendidikan mereka.
Dengan sangat bersyukur, akhirnya do’a ku terkabulkan. Seminggu kemudian aku pun berangkat menuju Jogja, walaupun aku berangkat sendirian tanpa bimbingan mereka. Aku merasa aku sudah bisa melakukan secara mandiri tanpa mereka. Walaupun aku harus selalu bertanya alamat Pondok Pesantren tersebut kepada masyarakat. Setelah tiba di Pesantren, aku langsung menemui Pak Kyai Pimpinan Pesantren di kediamannya. Tidak ku duga ternyata Kyai nya sangat muda, jauh dari apa yang aku pikirkan, umur beliau sekitar 45 tahun.
Beliau dengan suka cita menyambut kehadiranku dan langsung menanyakan tujuan kedatanganku kemari. Beranjak dari kediaman Beliau, aku langsung di antar ke asrama sementara, karena aku tidak akan tinggal di Pesantren utamanya, melainkan akan menempati asrama di pesantren cabang yang khusus untuk menghafal Al-Qur’an, sementara pesantren yang aku tempati sekarang adalah khusus yang menghafal Al-Qur’an dan Pendidikan Formal.
Aku menginap sekitar 2 hari disana, karena akan ada acara Sholawatan bersama Habib Syekh. Setelah acara tersebut aku dan santri yang lain kemudian di antar menuju pesantren tahfidz putri. Sepanjang perjalanan aku berkhayal, bagaimana pondok pesantren yang akan aku tempati itu?. Ku kira pesantren itu dekat dengan pesantren utama, namun ternyata salah, tempatnya cukup jauh, berbagai tempat telah kami lewati, termasuk tempat yang bersejarah yaitu Candi Prambanan. Baru kali ini aku melihat Candi tersebut secara langsung, walaupun hanya dengan melihat dari kejauhan saja.
Sepanjang perjalanan aku merasa lelah, akhirnya aku pun tertidur. Tak lama kemudian tibalah kami di Pondok Pesantren, lagi-lagi aku kaget, ternyata pesantrennya tidak seperti apa yang aku pikirkan. Aku membayangkan sebuah gedung yang bertingkat dan umumnya seperti pesantren utamanya. Namun ternyata, pesantren ini adalah sebuah rumah yang besar dilengkapi 2 kamar kecil yang bermuatan sekitar 6 orang santri dan 2 kamar besar yang kira-kira bermuatan 25 santri per kamar, dan halaman yang sangat luas. Ada sekitar 37 santriwati disana, dari berbagai kalangan. Aktivitas di pondok ini sangat longgar, tidak ada kegiatan yang berat. Setiap hari kegiatan wajib kami hanyalah mengaji Al-Qur’an, tiada hari tanpa Al-Qur’an, setiap hari hanya untuk Al-Qur’an.
Berbeda dengan Pondok Pesantren utamanya, disana kegiatan dan jadwalnya sangat padat, sehingga mayoritas santrinya kesulitan untuk mengatur waktu antara kuliah/ pendidikan formal dan mengaji. Selang waktu libur aku izin untuk membuka media sosial, aku ingin melihat kabar teman-teman ku. Baru saja aku aktif di media sosial, teman-temanku telah menyapaku, menanyakan kabar dan keberadaan ku sekarang. Terkadang aku merasa iri kepada mereka yang telah lebih dahulu merasakan menjadi mahasiswa, sementara aku harus menundanya. Namun itu semua tidak membuat ku berkecil hati, karena Allah telah menentukan yang terbaik untukku.
Dengan ikhlas dan yakin kepada Allah, aku jalani semuanya, dengan alur waktu yang telah ditentukan. Waktu berjalan begitu cepat, tak ku duga 2014 telah di lewati, sekarang adalah tahun 2015. Kali ini aku kembali bingung, apakah aku harus tetap berada disini ataukah aku harus melanjutkan pendidikan sesuai keinginan Ibu?, dengan segala upaya aku berdo’a memohon kepada Allah untuk memberiku petunjuk. Akhir-akhir ini telepon kamarku selalu berbunyi, tidak salah lagi, itu adalah panggilan dari ibuku, tidak tahu mengapa ibu ku kali ini sangat rutin menelfonku, dan pembahasannya adalah menyuruhku untuk kuliah.
Aku tidak menanggapinya, aku masih ingin menyelesaikan Al-Qur’an ku terlebih dahulu, baru aku akan melanjutkan pendidikan selanjutnya, entah dalam kurun waktu berapa lama aku harus bertahan disini. Namun lagi-lagi hatiku bimbang, walaupun aku berupaya istiqomah, tetapi pikiranku tertuju pada Ibu, Beliau sangat antusias menginginkan anak bungsunya melanjutkan pendidikan. Aku hanya dapat berdiam diri dan berfikir apa yang harus aku lakukan. Terlintas di pikiranku untuk menyelesaikan Al-Qur’an ku dengan waktu yang sangat singkat ini dan melanjutkan pendidikan sesuai harapan dan permintaan ibuku.
Walaupun aku belum yakin apakah aku mampu menyelesaikannya dalam waktu 3 bulan ini, namun kali ini aku harus mencoba untuk bisa atau tidaknya, aku harus yakin bahwa Allah akan memberi kemudahan kepada setiap hamba-Nya. Siang malam aku terus usaha keras menyetor hafalan. Sampai pada bulan terakhir, Allah mengabulkan do’aku. Aku bisa menyelesaikan Al-Qur’an dengan waktu singkat. Walaupun hanya sekedar setoran dan masih jauh dari kata lancar dan sempurna. Namun tidak mengapa, karena aku yakin semuanya akan berjalan dengan seiring waktu.
Langsung saja aku memberi kabar kepada Ibu, bahwa dalam minggu ini aku akan pulang dan memenuhi keinginan Beliau. Tak terasa, kurang lebih 7 bulan aku di pondok itu menimba ilmu yang sangat sedikit. Kali ini aku akan kembali ke rumahku, berjumpa dengan sanak saudara dan berjuang kembali untuk menembus menjadi seorang mahasiswa. Sangat singkat aku berada di Yogyakarta, namun berbagai suka duka dan pengalaman telah aku dapatkan, walaupun hanya segelintir saja. Aku sangat bersyukur karena aku dapat mengelilingi kota bersejarah ini dan menimba ilmu disini. Setibanya di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Kota Palembang, dengan segera aku menuju kediaman orang tua ku. Setelah menempuh waktu yang cukup lama, akhirnya aku merasakan kembali hangatnya pelukan seorang Ibu dan Saudara-saudaraku.
Waktu ku tidak banyak saat ini, aku harus belajar untuk persiapan mengikuti berbagai tes di Perguruan Tinggi. Namun, kali ini aku mendapat kendala. Pengetahuan Sains ku sangat kurang, sehingga aku membutuhkan tempat bimbingan belajar, namun apalah daya, kondisi keuangan keluargaku tidak mendukung, aku ingin menyusahkan orang tua ku, karena aku tahu keperluanku kedepannya sangatlah banyak.
Dengan segala upaya aku belajar sendiri dirumah dengan bekal do’a dan buku-buku. Semua pendaftaran aku ikuti, mulai dari SBMPTN, POLTEKKES, UMPT-KIN, serta Beasiswa Santri Menjadi Dokter. Sementara waktu ku hanya tinggal 1 bulan lagi untuk ikut tempur di medan perang, aku merasa persiapan dan usahaku belumlah cukup. Namun aku yakin Allah akan memberi kemudahan dan jalan bagi hamba-hamba-Nya. Sekarang memasuki bulan Mei, aku harus berjuang menghadapi 98 orang peserta seleksi beasiswa santri jadi dokter, tetapi kuotanya hanya untuk 7 orang saja. Ini adalah target dan harapan ku untuk menuju cita-cita. Dengan D.U.I.T dan konsep MAN JADDA WAJADA aku yakin aku bisa jika Allah meridhoi-Nya.
2 Minggu setelah ujian tersebut aku mendapat sebuah pesan bahagia bahwa aku di nyatakan LULUS Program Beasiswa Santri Jadi Dokter di UIN SYARIF HIDAYATULLAH dengan Prodi FARMASI. Namun aku belum terlalu yakin, tetapi setelah aku melihat namaku tercantum media koran lokal, aku percaya dan segera sujud syukur kepada Allah atas Anugerah yang telah diberikan. Ibu dan keluarga ku sangat bahagia dan bersyukur atas Karunia-Nya.
Selanjutnya aku melakukan registrasi pendaftaran ulang di kantor Pemerintahan Daerah. Aku merasa ini adalah sebuah mimpi. Namun tidak, ini adalah kenyataan, aku diberi kesempatan untuk menerima beasiswa dan kuliah di bidang kesehatan sesuai apa yang telah aku cita-citakan. Allah benar-benar mendengar do’a para hamba-hambaNya. Ini adalah titipan dari Allah dan harus aku gunakan kesempatan ini dengan sebaiknya. Aku harus belajar lebih keras lagi, selesai dengan tepat waktu, mengabdi ke masyarakat, serta dapat mengharumkan Daerah dan Negaraku.
Tulisan lainnya:
1. Analogi Hukum-Hukum Newton Tentang Perilaku Belajar Peserta Didik
1 komentar
KEBANGGAAN MENJADI MAHASISWA FKIK | PP AL-ITTIFAQIAH, Kamis, 3 Sep 2015
[…] 2. KARENA CINTA ALLAH […]