Peluang, Tantangan, dan Strategi Lembaga Pendidikan Islam
Oleh: Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph.D.
Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
SMRC Fellow di PPIM UIN Jakarta
Siapakah Santri Itu?
Santri berasal dari bahasa Sansekerta “shastri”, yang berakar kata sama dengan kata “sastra”, yaitu kitab suci, agama, atau pengetahuan. Dari sini muncul pengertian santri sebagai murid yang belajar khusus ilmu-lmu agama Islam yang berasrama di pesantren yang dipimpin seorang kyai.
Santri bisa juga berasal dari kata “cantrik” yang bermakna ‘pembantu atau pelayan’ para begawan atau resi. Sebagai upah dari jasa mereka, begawan akan memberikan ilmu pengetahuan. Dari sini juga muncul adat/tradisi para murid melayani kyai dan keluarganya, bahkan sebelum pelajaran/pengajian dimulai. Melayani kyai dengan imbalan mengaji gratis di pesantrennya.
Dari pengertian ini, tampak santri adalah mereka yang hanya bersekolah atau bermukim di pesantren dengan bimbingan kyai dan para ustaz.
Pesantren terdiri dari lima hal (Zamaksyari Dhofier): kyai (guru), santri (murid), asrama (tempat tinggal), masjid (tempat ibadah), kitab (pelajaran).
Santri: Aliran Politik?
Santri sebagai salah satu kategori politik aliran di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, yaitu orang yang taat pada aturan agama Islam dan lawannya adalah abangan.
Istilah santri digunakan sebagai salah satu aliran dalam masyarakat Jawa pertama kali oleh Clifford Geertz (1926-2006), antropolog AS di dalam bukunya The Religion of Java, 1976, (Agama Jawa). Dia membagi tiga jenis masyarakat Jawa: Santri, Abangan, dan Priyayi.
Santri adalah masyarakat perkotaan yang mematuhi aturan agama Islam secara ketat, sementara abangan adalah masyarakat pedesaan yang mencampur ajaran Islam dan Hindu serta masih mempraktikkan ritual kepercayaan nenek-moyang.
M.C. Ricklefs (2006) mengungkapkan bahwa pembedaan 2 kategori masyarakat itu pertama kali diketahui pada abad ke-19 dengan istilah, kaum putihan dan abangan. Kaum “putihan” adalah masyarakat muslim yang menjalankan agama Islam secara sempurna, adapun kaum abangan: menjalankan agama Islam tidak sempurna.
Kategorisasi santri-abangan sudah tidak lagi relevan saat ini, bukan saja karena penelitian-penelitian terakhir membantah pembagian masyarakat seperti itu, tetapi batasan santri dan abangan sudah sangat cair.
Arti santri secara umum saat ini, berangkat dari bahasan Geertz, adalah mereka yang taat menjalankan agama Islam, tanpa harus sekolah di Pesantren.
Islamisasi Pranata Pra-Islam
Pranata semacam ‘pesantren’ itu sudah ada sebelum datangnya Islam, yaitu lembaga-lembaga pendidikan untuk membentuk ahli agama Hindu atau Budha.
Umat Islam yang baru di Nusantara itu mengislamkan lembaga dan pranata Hindu-Budha tersebut.
Jadi, pesantren dan santri telah lama ada sejak Islam menjadi agama resmi dianut oleh masyarakat Nusantara.
Kesultanan Banten, misalnya, pada abad ke-16 dan ke-17, memiliki lembaga pendidikan Islam, semacam pesantren, yaitu Kasunyatan yang dipimpin oleh Kyai Pangeran Kasunyatan.
Ulama abad ke-18 dan ke-19 menjadi awal kesungguhan upaya islamisasi pranata Hindu-Budha dan menjadikan pesantren sebagai wadah pembelajaran agama Islam.
Abad ke-19: Awal Gelombang Santri
Pada abad ke-19 terdapat banyak ulama yang menjadi panutan bagi masyarakat Jawa dan pesantren menjadi tempat lembaga pendidikan untuk para santri tersebut.
Menurut Van Den Berg (1886) di dalam artikelnya « Het Mohammedaansche godsdienstonderwijs op Java en Madoera en de daarbij gebruikte Arabische boeken » pada paruh kedua abad ke-19, terdapat lima belas ribu (15.000) lembaga pendidikan Islam dengan santri dua puluh lima ribu orang (25.000) yang menjadikan kitab kuning (55 judul) sebagai rujukan utama.
Pada abad ke-19 itulah banyak ulama yang menjadi arsitek pendirian pesantren di Nusantara, yaitu Umar Nawawi al-Bantani, Muhammad Saleh Darat, Ahmad Rifai Kalisalak, Mahfuz al-Termasi, Khalil Bangkalan, Asnawi Kudus, dan Hasyim Asyari.
Para ulama itu meninggalkan warisan ‘pesantren’ yang masih berdiri hingga sekarang, misalnya Pesantren Tebuireng.
Pandangan Buruk tentang Santri (Dulu)
Citra buruk tentang santri disebabkan, antara lain, oleh politik pemerintah kolonial Belanda.
Santri itu kampungan, budukan, kurang bergaul, tidak mengerti teknologi, jorok, hanya belajar agama saja atau ibadah saja, tidak bekerja.
Citra buruk tentang santri masih kita rasakan hingga sekarang. Pengalaman saya di Pondok-Pesantren Wali-Songo, Ngabar, Ponorogo, di Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Kwagean Kediri, membuktikan hal tersebut.
Kaum santri identik dengan NU.
Politik Kaum Sarungan.
Pertarungan di partai Masyumi, antara golongan tradisionalis (kyai sarungan/NU) dan golongan modernis (kyai berjas/Muhammadiyah). Partai NU = NASAKOM.
Politik kaum santri = NU = sangat ‘lihai.’
Tokoh-tokoh nasional, elit politik, menteri agama (Wahid Hasyim, Wahab Hasbullah, Wahib Wahab, Saifuddin Zuhri, Subhan ZE, dll.)
Kiprah Santri di Tingkat Nasional
- Saifuddin Zuhri menjadi contoh terbaik bagaimana seorang santri bisa mencapai kedudukan tinggi di dunia politik pada masa Orde Lama. Ia dididik di pesantren, bahkan ia menulis buku “Guru-Guruku Orang Pesantren.” Ia sangat lihat dalam berpolitik dan pandai menjadi perantara antara Bung Karno dengan umat Islam.
Hal ini menunjukkan kaum santri bisa berperan dan mewarnai kehidupan berbangsa dan dan bernegara. Saat Bung Karno menerapkan ideologi Nasakom, NU menjadi bagian dari penyokong ideologi itu dan Saifuddin Zuhri memainkan peranan penting dalam menyeimbangkan kekuatan komunis saat itu.
Cak Nur Dan Gus Dur: Santri-Baru
Kebangkitan Kaum Santri-Baru terjadi pada masa Orde-Baru. Mereka menjadi orang-orang yang mempengaruhi kebijakan negara dan juga masyarakat sesuai dengan peran yang mereka ambil. Dua orang bisa menjadi contoh, yaitu Nurcholish Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur dan Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Yang pertama mewakili kaum intelektual-akademisi dan masyarakat kelas menengah dan perkotaan, sementara yang kedua mewakili kaum agamawan/ulama dan masyarakat kelas bawah dan pedesaan. Yang satu berpendidikan Barat (Chicago), dan yang lainnya berpendidikan Timur-Tengah (Kairo dan Baghdad).
Cak Nur dan Gus Dur telah membangkitkan kebanggaan kaum santri. Ternyata, santri mampu berprestasi di Luar Negeri dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia melalui caranya masing-masing. Sejak saat itu, ada kebanggaan menjadi santri.
Santri Pada Masa Orde-Baru
Politik awal Orde-Baru menekan umat Islam, tetapi justeru itu menjadikan pemicu bagi kebanyakan orang untuk lebih mendalami Islam. Saat itulah terjadi peningkatan pesantren dan santri. Di akhir kekuasaan Orde-Baru, sikap ramah pemerintah terhadap Islam menjadikan masa itu sebagai titik penting bagi kaum santri.
Pergantian rezim dari Orde-Baru ke Orde-Reformasi telah merubah ranah keagamaan di Tanah Air. Semua orang menjadi santri. Makna santri mengalami perluasan. Dari yang tadi hanya mereka yang pergi ke pesantren, sekarang melingkupi muslim perkotaan yang memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Islam. Terjadi geliat dan kebangkitan akan kesadaran Islam. Inilah yang dinamakan kebangkitan kaum santri. Kebangkitan ini ditandai dengan jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren.
Pendidikan dan Agama
NU memiliki lebih dari 6.000 sekolah, mulai dari TK/RA sampai Universitas.
Muhamadiyyah mempunyai 2.604 SD/MI, 1774 SMP/MTS, 1.143 SMA/MA dan 172 Universitas.
Saat ini terdapat tiga payung dalam sistem pendidikan nasional: Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) dan Kementerian Agama (Kemenag). = sekolah vs madrasah.
Semua sekolah (dasar dan menengah) di bawah Kemdiknas dan Kemenang mengikuti kurikulum nasional dalam bidang: matematika, ilmu sosial, ilmu pengetahuan alam, sejarah, dll.
Perbedaannya: mata pelajaran di madrasah mengajarkan pelajaran agama Islam lebih banyak, yaitu Alquran, Hadis, Sejarah Islam, sementara sekolah umum hanya mengajarkan PAI 2 jam/minggu.
Terdapat 181.083 sekolah pada 2007/8 di bawah Kemdiknas.
Terdapat 40.469 madrasah pada 2008/9 dan 67.3000 madrasah pada 2013 di bawah Kemenag.
Sekolah Umum (tahun 2007/8)
No | Tingkatan | Status | Jumlah | Keseluruhan |
1. | Sekolah Dasar (SD) | Negeri | 132.513 | 144.567 |
Swasta | 12.054 | |||
2. | Sekolah Menengah Pertama (SMP) | Negeri | 15.024 | 26.277 |
Swasta | 11.253 | |||
3. | Sekolah Menengah Atas (SMA) | Negeri | 4.493 | 10.239 |
Swasta | 5.756 | |||
181.083 |
- Terdapat dua sekolah keterampilan: SMK (sekolah menengah kejuruan), STM (sekolah teknik menengah). Angka di atas tidak termasuk sekolah keterampilan ini. Contoh pada 2010 terdapat 11.778 Sekolah dengan 4.212.568 murid, adapun SMK ada 9.164 sekolah dengan 3.973.185 murid.
- Pada 2012 ada 58 juta murid dari semua tingkat.
- Pada 1999 terdapat 150.921 SD dengan 25.667.578 murid.
Madrasah (tahun 2013)
Tingkatan | Negeri | Swasta | Jumlah |
Ibtidaiyyah | 1.686 (7%) | 21.385 (93%) | 23.071 |
Tsanawiyyah | 1.437 (9%) | 13.807 (91%) | 15.244 |
Aliyah | 758 (11%) | 5.906 (89%) | 6.664 |
Sumber: Pendis, Kemenag, 2013. | 70.424 |
Jumlah Murid (tahun 2008/2009)
Tingkatan | Negeri | Swasta | Jumlah | Jumlah
Madrasah |
Total | |
1 | Ibtidaiyyah | 361.491 | 2.554.736 | 2.916.227 | 21.529 | |
2 | Tsanawiyyah | 591.761 | 1.845.501 | 2.437.262 | 13.292 | |
3 | Aliyah | 319.011 | 576.823 | 895.834 | 5.463 | 40.469 |
Pondok-Pesantren
No | Jenis | Jumlah | Santri/Prosentase |
1. | Salafiyyah (sistem klasik) | 14.459 (53,10%) | L= 1.886.748 (50,91%) |
2. | Khalafiyyah (sistem modern) | 7.727 (28,38%) | P= 1.872.450 (49,81%) |
3. | Salafiyyah-Khalafiyyah | 5.044 (18,52%) | |
Keseluruhan | 27.230 (100%) | 3.759.198 |
- Pesantren salaf : lembaga pendidikan tradisional yang mengajarkan kitab kuning dan tidak menyediakan pendidikan resmi baik “sekolah” maupun “madrasah” = Pesantren Kwagean.
- Pesantren khalaf: lembaga pendidikan modern, sekolah atau madrasah, dipadukan dengan kurikulum lokal, terutama, bahasa = Pesantren Gontor.
- Pesantren Salaf-Modern: lembaga pendidikan yang menggabungkan sistem tradisional dan modern, yaitu pengajaran kitab kuning dan penyediaan pendidikan formal sekolah atau madrasah = Tebuireng atau al-Ittafiqiah.
Tantangan Pesantren
Jumlah pesantren dan santri meningkat cukup penting, ini merupakan tantangan bagi pendidikan Islam. Mampukah pesantren mencetak santri-santri baru ini menjadi orang yang berhasil dalam segala bidang? Mampukah pesantren membentuk pribadi-pribadi yang tangguh dalam menghadapi persaingan dunia yang semakin keras?
Jelas, ini merupakan tantangan bagi pesantren.
Persoalan yang dihadapi pesantren dan santri tidaklah mudah saat ini.
Derasnya laju informasi dan perkembangan teknologi harus diikuti oleh santri.
Lemahnya pengawasan orang tua kepada anak-anaknya sendiri, pesantren harus menjadi garda terdepan pengawas para santri yang dititipkan.
Ketika banyak kasus kekerasan, maka pesantren harus mengedepankan pendidikan yang santun dan penuh teladan.
Strategi Pesantren di Tengah Arus Perubahan
Untuk menghadapi persaingan yang amat ketat, pesantren harus terus membuka diri untuk terus mengembangkan sistem pengajaran dan pendidikan.
Selain tahfiz alquran, tafsir, hadis, fikih, Pesantren dapat membekali para santrinya dengan pelajaran komputer, teknologi dan informasi, dan kemampuan bahasa asing yang mumpuni.
Pesantren bisa menyediakan semua kebutuhan pendidikan yang berkemajuan. Hal ini dapat tercapai dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah, provinsi, pusat dan lembaga-lembaga luar negeri.
Pesantren dapat menjadi contoh bagi sistem pendidikan nasional yang sedang tidak sehat dengan kasus kekerasan fisik dan seksual.
Para ustaz, ustazah dan semua pihak di Pesantren harus bekerja sama menjadikan pesantren kawah candradimuka pendidikan Islam.
Strategi Menuju Santri Berhasil
Para santri juga harus sigap dalam menghadapi persaingan dunia yang amat keras ini. Santri harus memiliki keteguhan sikap dan mimpi yang tinggi untuk cita2.
Silahkan perkuat hafalan Alquran, pelajari kitab kuning untuk semua pelajaran: tafsir, hadis, fikih, tetapi juga pelajari komputer, teknologi dan informasi.
Para santri juga harus membekali diri dengan kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang baik. Pergunakan kesempatan yang diberikan pesantren untuk berbahasa asing. Hilangkan hambatan atau malu sehingga tidak mau berbahasa.
Mereka yang berhasil adalah mereka yang mampu melewati hambatan dan menjadikan setiap waktu itu kesempatan dan peluang memajukan diri. Dari sekarang, santri harus berbahasa Inggris yang baik.
Kisah Keberhasilan “Santri-Baru” di Barat
Banyak sekali santri-santri yang menimba ilmu di Timur-Tengah. Tetapi, itu sudah biasa.
Sekarang, jumlah para santri yang berangkat ke Eropa, Amerika, Australia, dan Kanada untuk belajar tingkat S-2 dan S-3 semakin meningkat.
Program beasiswa dari universitas dan lembaga-lembaga di Luar Negeri memungkinkan para santri itu meraih pendidikan tinggi di kampus-kampus bergengsi.
Sekarang para santri yang ke Barat semakin banyak berkat program pemerintah, seperti “Program Beasiswa 5000 Doktor” oleh Kementerian Agama, lalu program beasiswa LPDP.
Para santri yang memiliki khazanah klasik yang baik pergi ke Barat untuk mempelajari berbagai disiplin keilmuan akan memperkaya cara pandangnya.
Mereka yang belajar tingkat master atau doktor, misalnya, dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusian (humaniora), para santri ini mencoba menggabungkan dan mengawinkan antara pengetahuan khazanah klasik keislaman dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial, maka akan melahirkan pemikiran-pemikiran alternatif yang bagus. Hal ini dapat memberikan sumbangsih yang tidak kecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiprah kaum santri di berbagai bidang telah mewarnai kehidupan bangsa ini.
Keberhasilan Indonesia menjadi negeri demokratis di dunia merupakan salah satu sumbangsih kaum santri yang amat besar. Para sarjana yang berasal dari santri dapat memformulasikan Islam sebagai sumber etika dan moral dalam tataran substansi.
Harus kita akui masih banyak masalah di negeri ini, tetapi dibandingkan dengan negeri-negeri muslim lainnya, Indonesia menjadi contoh par excellence, contoh istimewa, untuk sistem pendidikan Islam yang modern dengan madrasah dan pesantren menjadi modelnya.
Ketika Pesantren Menjadi Pilihan
Pesantren telah terbukti membentuk para santri yang berhasil itu. Pesantren telah memberikan sumbangan yang amat besar bagi pendidikan di Indonesia. Terbukti para santri itu telah berperan di dalam bidangnya masing-masing di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Oleh karena itu, pesantren haruslah didukung oleh semua pihak. Pemerintah daerah, provinsi, dan pusat wajib memberikan semua dukungan, moril dan materil.
Semua pihak juga harus memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi para santri untuk berkiprah di mana saja, PNS atau swasta, di TNI, Polisi, di berbagai kementerian, atau di berbagai usaha.
Santri bisa menjadi apa saja dan di mana saja.
Santri bisa mewarnai di mana ia berabada dengan bekal ilmu keagamaan yang dimilikinya.
Mari kita gelorakan gerakan “Yuk Belajar di Pesantren” dan “Go Back to Pesantren”.
We love you, pesantren…