Nun berabad lampau, seorang perempuan yang dinikahi oleh Nabi Ibrahim as tanpa banyak bicara mengiyakan saat suaminya meninggalkannya di sebuah tanah tandus nan kering kerontang bersama bayi yang baru dilahirkan. Tanpa rumah, tanpa penerangan, tanpa air, tanpa makanan. Sang nabi hanya membekalinya dengan suatu keyakinan bahwa Sang pemilik hidup akan memberikan kemurahan pada hambaNya yang dekat dan berserah diri.

___________
Wahai saudariku…

Bisakah kita bayangkan seandainya perempuan itu adalah kita. Bisakah kita terima saat sang suami meninggalkan kita sendirian di tanah tandus dan tak berpenghuni.

Bisakah kita setegar Siti Hajar saat tidak ada apa-apa untuk dimakan, tidak ada siapa-siapa tempat mengadu. Tidak ada rumah yang nyaman untuk tempat berteduh. Hanya Siti Hajar yang mungkin bisa seperti itu.

Bandingkan dengan kita yang selalu mengeluh. Mengeluhkan keadaan, mengeluhkan “maisyah” yang diberikan suami, mengeluhkan mengapa tidak bisa seperti ini, seperti itu, seperti yang lain. Andai sedikit saja kita bersabar Insyaallah diganjar dengan surga…

Seorang sahabat dekat yang sangat saya kagumi mungkin sosok Siti Hajar masa kini. Dia memiliki 3 anak yang masih kecil, tinggal disebuah rumah kontrakan kecil bersama suaminya. Seorang adik yang ikut tinggal bersamanya dan dibiayai sekolah bahkan seorang sepupu yatim yang juga ikut menumpang tinggal untuk sekolah dan ada lagi seorang ibu kerabat jauh yang sakit-sakitan.

Suaminya saat itu tidak bekerja, hanya berjualan sekadarnya dan dia sendiri hanya mengajar les privat di rumah.

Saat saya pancing untuk sekadar curhat tentang keluarganya. Satu patah kata pun tidak keluar dari mulutnya. Dia selalu menceritakan kegiatan suaminya dengan mata berbinar-binar. Menceritakan kenakalan anak-anaknya dengan bersemangat. Menceritakan susahnya melakukan pekerjaan rumah tangga dengan penuh senyum.

Tak pernah ku dengan dia mengeluh sekalipun terlihat jelas dari gurat-gurat diwajahnya. Dia terlihat begitu lelah, tetapi semua itu tertutupi dengan pribadinya yang lembut dan periang. Hebatnya lagi dia dan suaminya masih aktif dalam kegiatan dakwah.

Sungguh aku begitu malu padanya. Dari dialah aku belajar untuk banyak-banyak bersyukur. Bersyukur dan bersabar.

Saat kita bersyukur terasa beban berat yang menghimpit menjadi ringan. Saat kita bersabar kita akan menjadi ikhlas dengan semua ketetapanNya dan yakin bahwa Allah telah memberikan yang terbaik untuk kita jalani.

Sungguh begitu banyak yang harus kita syukuri. Bersyukur bahwa hingga saat ini Allah masih memberi kesempatan hidup, memiliki suami saat begitu banyak yang tidak atau belum memiliki. Dititipi putra-putri saat begitu banyak pasangan mendambakannya. Memiliki pekerjaan, tempat tinggal, orang tua, teman, sahabat dan seterusnya.

Bersyukurlah karena dengannya kita tidak sempat memikirkan apa yang tidak kita miliki.
(Ummi Syifa-Faiza)

http://ferryheryadi.blogspot.com/search/label/Ummi