Pertanyaan yang tak sempat aku tanyakan pada suami sebelum menikah dulu.
Aneh memang pertanyaan itu muncul setelah sekian lama usia pernikahan kami, tapi tak apalah jika tujuannya untuk semakin mengikat perasaan dan menguatkan mahabbah.
Seperti biasa dia menjawab dengan bercanda “Karena dari sekian banyak perempuan yang ku ajak nikah, hanya kamu yang bersedia” diiringi dengan tawa lepasnya.
Aku cemberut, tentu saja bukan jawaban seperti itu yang aku harapkan. Dia memegang tanganku dan tersenyum “Sudah berapa tahun kita menikah Ummi?” “Hampir 7 tahun” jawab ku cepat. “Apa alasan Ummi menanyakan itu setelah sekian lama kita menikah?” tanyanya lagi “Ummi hanya ingin tau, agar Ummi bisa terus berusaha dan istiqomah untuk menjadi seperti yang Abi harapkan ketika Abi memutuskan untuk memilih Ummi dulu” ucap ku sedikit tercekat.
“Bisakah Abi jawab begini, karena Abi berharap memiliki istri yang bisa selalu mengingatkan jika hidup ini hanya sementara. Karena kesibukan dunia sering kali melalaikan, mengingatkan untuk selalu bersyukur dengan kelebihan dan bersabar dengan kekurangan, mengingatkan disaat khilaf dan alfa dengan kewajiban, dan terpenting menjadi Rabbaul Baits yang baik untuk anak-anak”, “kalau Abi menjawab seperti itu, sepertinya banyak perempuan lain yang lebih baik dari Ummi, Abi bisa mencari anak pesantren yang pemahaman agamanya jauh lebih baik dari Ummi, yang bisa mengingatkan Abi dengan lebih baik disertai dalil-dalil agama yang shahih”.
Abi tertunduk sesaat lalu menatap ku dalam-dalam. “Ummi, rumah tangga bukan kementerian yang membutuhkan seorang ilmuwan atau ahli-ahli dibidangnya untuk menyukseskan program, rumah tangga juga bukan sekolah yang perlu guru dari latar belakang ilmu yang mumpuni, rumah tangga juga bukan kerajaan yang sang raja harus perkasa, kaya raya dan memiliki permaisuri nan cantik jelita, tapi rumah tangga hanya diibaratkan perahu yang mengarungi samudera. Tidak diperlukan sertifikat sekelas angkatan laut untuk sukses mengarunginya bahkan nelayan-nelayan tak berpendidikan pun bisa dengan berani menantang badai”.
Aku terdiam mencoba memahami kata-katanya. Jika latar belakang pendidikan menentukan sukses tidaknya sebuah rumah tangga, alangkah banyak rumah tangga yang hancur karena minimnya pendidikan, jika kemiskinan yang melatarbelakanginya, alangkah banyak orang miskin yang bercerai. Tapi kenyataannya banyak keluarga miskin yang tetap bahagia dengan segala keterbatasan.
Diam-diam aku menangis, bukan karena sedih tapi karena rasa syukur nan mendalam karena memiliki imam yang menghargai dan mencintai ku apa adanya.
By: https://www.facebook.com/ferrynisma