Oleh: Drs. K.H. Mudrik Qori, M.A.

Secara praktis suksesi dapat diartikan dengan “pergantian pemimpin atau pemerintah”. Suksesi sesungguhnya merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan perubahan (taghyir) kepada kondisi yang lebih baik, lebih adil dan lebih mensejahterakan. Oleh karena itu makna hakiki suksesi adalah perubahan struktur yang lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan yaitu dari struktur otoriter dan refresif menuju struktur yang demokratis dan memberdayakan, dan dari struktur yang sangat kolusif, koruptif dan nepotisme menuju struktur yang bersih dan berwibawa. Maka sebenarnya dalam suksesi ada misi yang mulia yaitu memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat. Makna pemimpin atau pemerintah dalam konteks ini adalah mutlak sebagai “pelayan” masyarakat (khodimul ummah) bukan “penguasa”.

Namun tidak dapat disangkal, suksesi bersinggungan erat dengan persoalan politik atau kekuasaan. Berbicara kekuasaan akan sangat terkait dengan kepentingan (interest). Kekuasaan dan kepentingan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, dalam konteks politik, kepentingan identik degan kekuasaan dan sebaliknya.

Ihwal kepentingan inilah yang menjadi persoalan. Ketika kekuasaan diposisikan bukan pada misi mulia untuk kepentingan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi justru untuk kepentingan pribadi dan kelompok, atau untuk kepentingan menumpuk kekayaan dan lain-lain, maka terjadilah malapetaka bagi masyarakat. Bagi yang sedang berkuasa tentu berupaya keras untuk melanggengkan kekuasaan (status quo). Status quo akan melahirkan tindakan otoriter, penindasan dan kekerasan. Sedang bagi yang ingin berkuasa, dengan kepentingan yang sama buruknya, berupaya merebut kekuasaan.

Suksesi dalam konteks ke-Indonesiaan selalu berada dalam posisi kepentingan buruk tadi. Akibatnya dua kelompok kepentingan di atas berupaya menghalalkan segala cara, sehingga fitnah, kekerasan dan beragam tindakan amoral lainnya (baca; money politic dan penipuan publik) mewarnai suksesi.

Dalam kondisi seperti di atas, suatu saat cepat atau lambat akan muncul kelompok yang akan merubah keadaan. Upaya ini dapat saja ditempuh secara evolusif dengan memperbaiki infra struktur politik dan sistem politik yang memang memerlukan kesabaran karena membutuhkan waktu yang panjang atau di tempuh secara refolusif. Revolusi biasanya identik dengan darah, kekerasan, chaos dan sebagainya. Singkatnya memerlukan ongkos sosial (social cost) yang tinggi.

Oleh karena itu, untuk menjembatani hal ini, diperlukan sebuah mekanisme suksesi yang demokratis dan penegakan etika politik sebagai prinsip-prinsip yang harus di tegakkan dalam suksesi tersebut. Hal ini perlu kiranya untuk dikedepankan agar terhindar dari aksi-aksi kekerasan, fitnah, pemutarbalikan fakta, tipu daya, dan tindakan-tindakan yang tidak etis lainnya. (Bagian I)

________

An-Naba Edisi September 2015