Diajukan pada Acara Seminar Himpunan Humanika Wilayah Selatan, 8 Rabiul Awal 1424 H./10 Mei 2003 M.
Oleh: Drs. K.H. Mudrik Qori, M.A.
Mukaddaimah
Secara praktis suksesi dapat di artikan dengan “pergantian pemimpin atau pemerintah”. Suksesi sesungguhnya merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan perubahan (taghyir) kepada kondisi yang lebih baik,lebih adil dan lebih mensejahterakan. Oleh karena itu makna hakiki suksesi adalah perubahan struktur yang lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan yaitu dari struktur otoriter dan refresif menuju struktur yang demokratis dan memberdayakan, dan dari struktur yang sangat kolusi, korupsi, nepotisme menuju struktur yang bersih dan berwibawa. Maka sebenarnya dalam suksesi ada misi yang mulia yaitu memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat.Makna pemimpin atau pemerintah dalam konteks ini adalah mutlak sebagai “pelayan” masyarakat (khodimul ummah) bukan “penguasa”.
Namun tidak dapat disangkal, suksesi bersinggungan erat dengan persoalan politik atau kekuasaan. Berbicara kekuasaan akan sangat terkait dengan kepentingan (interest). Antara kekuasaan dan kepentingan adalah ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, dalam konteks politik,kepentingan identik degan kekuasaan.
Ihwal kepentingan inilah yang menjadi persoalan. Ketika kekuasaan diposisikan bukan pada misi mulia untuk kepentingan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi justru untuk kepentingan pribadi dan kelompok, atau untuk kepentingan menumpuk kekayaan dan lain-lain, maka terjadilah malapetaka bagi masyarakat. Bagi yang sedang berkuasa tentu berupaya keras untuk melanggengkan kekuasaan (status quo). Status quo akan melahirkan tindakan otoriter, penindasan dan kekerasan. Sedang bagi yang ingin berkuasa dengan kepentingan yang sama buruknya, berupaya merebut kekuasaan.
Suksesi dalam konteks ke-Indonesiaan selalu berada dalam posisi kepentingan buruk tadi. Akhirnya dua kelompok kepentingan di atas berupaya menghalalkan segala cara, sehingga fitnah, kekerasan dan beragam tindak amoral lainnya (baca; money politic dan penipuan publik) mewarnai suksesi.
Dalam kondisi seperti di atas, suatu saat cepat atau lambat akan muncul kelompok yang akan meerubah keadaan. Upaya ini dapat saja ditempuh secara evolusif dengan memperbaiki infra struktur politik dan sistem politik yang memang memerlukan kesabaran karena membutuhkan waktu yang panjang. Atau di tempuh secara refolusif. Revolusi biasanya identic dengan darah, kekerasan, chaos dan sebagainya. Singkatnya memerlukan ongkos sosial (social cost) yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menjembatani hal ini, diperlukan sebuah mekanisme suksesi yang demokratis dan etika politik santun.
Fokus pembahasan masalah suksesi dalam makalah ini hanya dibatasi pada masalah prinsip-prinsip yang harus di tegakkan dalam suatu suksesi tersebut. Hal ini perlu kiranya untuk dikedepankan agar terhindar dari aksi-aksi kekerasan,fitnah, pemutarbalikan fakta,tipu daya, dan tindakan-tindakan non etis lainnya.
Suksesi yang Damai dan Demokratis, tanpa fitnah dan kekerasan
Diskusi mengenai suksesi berarti diskusi tentang Negara. Eksprimen Negara yang paling ideal menurut Robert Bella, adalah Negara Islam Madinah yang dipimpin Nabi (baca; Presiden) dan kholifah empat (Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali). Itulah Negara yang sangat modern, dan terlalu modern, sehingga tidak berlangsung lama, hanya empat puluh tahun. Tidak ada sesudah itu Negara manapun di dunia yang dapat mencontohnya (Nurcholis Masjid; 2003).
Ini karena negara Madinah, mempunyai tujuan yang jelas (Rahmatan Lil Alamin), dengan beberapa ciri antara lain, persamaan, partisipasi, kebebasan, prestasi (bukan prestise),pengawasan ketat, penegakan supremasi hukum, ownership, akuntabilitas, transparansi dan lain-lain. Asosiasi good govermance yang mendasari terwujudnya negara adil, makmur dan sejahtera sungguh kental dalam negara Islam madinah.
Karena itu suksesi dalam negara Madinah selalu berjalan santun, demokratis, damai dan memuaskan, tanpa fitnah dan kekerasan.
Nabi Muhammad saw, Wafat pada tanggal 8 juni 632 M, tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazah dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajjirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idh, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan di pilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat Ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar secara aklamasi terpilih menjadi pemimpin umat Islam, menggantikan dan melanjutkan posisi Nabi saw. Sebagai pemimpin umat Islam saat itu. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam (Hasan, 1987 :34), sehingga masing- masing pihak menerima dan membaiatnya (Yatim, 1993: 35).
Menjelang berakhirnya kepemimpinan Abu Bakar, ketika beliau sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia pun bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab (13-23 H./634-644 M.) sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut diterima masyarakat dan mereka segera beramai-ramai membaiat Umar (Yatim, 1993: 38).
Menjelang wafatnya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi kahlifah (Syalabi, 1987; 263). Enam orang tersebut adalah Utsman, ALI, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah (644-655 M) Melalui persaingan yang ketat dengan Ali ibn Abi Thalib (Yatim, 1993: 38). Begitu pula selanjutnya, setelah Utsman wafat, beliau dibunuh oleh kaum pemberontak, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah.
Peristiwa sejarah pengangkatan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali tersebut menunjukan bahwa suksesi kepemimpinan umat islam. Menurut para sejarawan, masa kepemimpin para khalifah yang empat (khulafa ar-Rasyidin) tersebut merupakan sebuah contoh pengangkatan kepemimpinan yang ideal dalam sejarah.
Namun sayangnya, tradisi musyawarah dalam memilih dan menentukan pemimpin (khalifah) pada massa pemerintahan Khalifah ar Rasyidin tersebut tidak berlanjut lagi pada pemerintahan berikutnya. Masa kekhalifaan berikutnya tidak lagi menerapkan mekanisme musyawarah yang damai dan demokratis dalam memilih dan menentukan pemimpin umat islam, melainkan lebih diwarnai cara-cara kekerasan, kudeta dan tipu daya.
Menegakkan Prinsip-Prinsip ideal-universal menuju suksesi yang damai dan demokratis, tanpa fitnah dan kekerasan.
Dalam konteks masyarakat kita yang majemuk ini, pelaksanaan suksesi yang damai, membawa rahmat dan maslahat bagi seluruh umat, hanya akan terwujud jika prinsip-prinsip ideal-universal Islam seperti keadilan, egalitarian, keterbukaan (inklusif), demokrasi, penghargaan pada pluralisme (Lutfi Kamil dan Abdul Karim Sukandi, Demokrasi dan Nilai demokrasi Islam, Republika, 2000) dijunjung tinggi dan dihargai serta di realisasikan dalam segala aspek kehidupan secara konsisten dan konsekuen. Jika tidak demikian, upaya untuk mewujudkan suatu suksesi yang damai dan demokratis hanya menjadi sebuah selogan dan retorika yang tanpa makna,tapi tak pernah ada dalam realita. Prinsip-prinsip tersebutlah yang ditegakkan Nabi Muhammad saw. Dalam membangun Negara Madinah,sebagai mana tertuang dalam Piagam Madinah. Demikian pula masa Khalifah Rasyidin.
Al Qur’an mensinyalir bahwa Islam merupakan rahmat untuk seluruh alam, dunia dan semua bangsa, tanpa memandang batas-batas geografi, rasa taupun strta social. Islam memandang manusia lain sejajar dan terbuka untuk membangun iklim sosial yang harmonis dan damai dalam kehidupan masyarakat yang prularis. Islam menolak sekaligus membebaskan manusia dari segala bentuk rasialisme,sekretariarisme dan primordialisme. Penghargaan Islam terhadap manusia islam lebih berorientasi pada prestasi bukan prestise (prestige).
Abdurrahman Wahid dalam bukunya sosilalisasi Nilai-nilai dalam Demokrasi,1986, mengemukakan bahwakonsep demokrasi dalam islam yang paling kental tampak pada prinsip-prinsip seperti kebebasan ,keadilan, kesetaraan (musawa), dan permusyawaratan (syura). Berkaitan dengan konsep demokrasi dalam islam tersebut Amin Rais dalam bukunya berjudul Oposisi Berserak, menjelaskan ada lima prinsip :
Pertama, Pemerintahan harus berlandaskan pada keadilan.
Kedua, Sistem politik harus berdasarkan pada prinsip syura ( musyawarah).
Ketiga, Menegakkan prinsip kesetaraan yang tidak membedakan gender, etnik, warna kulit, latar belakang sejarah, sosial-ekonomi, dan lain-lain.
Keempat, Kebebasan yang didefinisikan sebagai kebebasan berfikir, berpendapat, berorganisasi, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, dan lain-lainya.
Kelima, pertanggung jawaban (accountability) para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-kebijakan mereka.
keenam, yaitu supremasi hukum (law enforcement). Sebab jika hukum tidak ditegakkan secara tegas iklim demokrasi sulit diwujudkan. Begitupula dalam masalah suksesi, jika prinsip-prinsip demokrasi tersebut tidak dijunjung tinggi, maka sulit kiranya kita memperoleh proses suksesi yang demokratis dan legitimate.
Akibat proses suksesi yang tidak demokratis inilah yang sering kali menyisahkan persoalan dan batu sandungan bagi seorang pemimpin yang terpilih. Lihatlah sejarah suksesi yang ada di berbagai belahan dunia ini, termasuk dalam sejaran umat dan dunia ini, termasuk dalam sejaran umat dan dunia Islam.
Penutup
Oleh karena itu, dalam proses suksesi prinsip-prinsip di ataslah yang harus ditegakkan. Dengan demikian hal-hal yang berbau rasialisme, sektarianisme, primordianisme dan isme-isme negative lainnya hendaknya sedapat mungkin tidak dikedepankan guna menuju suksesi damai dan demokratis. Adalah menjadi tugas kita bersama untuk menjamin proses politik yang lebih adil dan demokratis dalm suatu suksesi kepemimpinan sebuah institusi dan organisasi, baik pada level daerah maupun pusat. Meskipun harus disadari suksesi sebagai agenda politik tidak bias terlepas dari intrik alias permainan kotor, seperti politik uang (money politic). Sebab medan politik identic dengan medan bisnis kekuasaan dan uang. Permainan kotor tersebut sebenarnya bias diminimalisir, dengan catatan kita semua harus komitmen untuk tidak menyuburkan praktik-praktik kotor tersebut. Melainkan sebaliknya, harus secara kolektif dan proaktif membangun dan mengarahkan sekaligus mengontrol moral politik personal dan institusional menuju moral politik yang santun dan berwibawa. Bisakah? Sekali lagi tergantung dengan komitmen kita semua. Dan tampaknya itulah yang dipraktikan dan diwasiatkan oleh Rasulallah saw.dan Khalifah Rasyidin. Wallahua’lam bissawab.