KOTA INDAH DALAM PERADABAN ISLAM KLASIK & KRISIS MORAL KOTA MODERN

Oleh MS. Tjik . NG

Bismillahirrahmanirrahim

Pendahuluan

Banyak orang termasuk kita hari ini secara naluriah membayangkan kota sebagai ruang yang bersih, tertib, hijau, dan  menenangkan. Kota seharusnya tidak bau, tidak semrawut, dan menyediakan taman- taman sebagai ruang bernapas warganya.

Namun realitas kota-kota modern, terutama di negara berkembang, sering justru menghadirkan paradoks: gedung tinggi berdiri megah, tetapi sampah menumpuk; jalan berlapis aspal, tetapi sungai berubah menjadi got raksasa; teknologi maju, tetapi kualitas hidup merosot.

Situasi ini kerap dibela dengan satu dalih klasik: “Inilah konsekuensi modernitas dan kepadatan.”

Padahal sejarah peradaban justru membantah klaim tersebut.

Pada masa keemasan peradaban Islam. khususnya di era Abbasiyah, Umayyah Andalusia, serta dinasti-dinasti Islam di Persia dan Afrika Utara—kota-kota besar dengan kepadatan tinggi mampu tampil bersih, indah, teratur, dan manusiawi. Kota bukan sekadar pusat kekuasaan dan perdagangan, tetapi juga ruang etika, estetika, dan spiritualitas.

 

Tulisan ini mengajukan satu tesis tegas:

kota indah bukan utopia, melainkan produk nilai, visi peradaban, dan tata kelola.

Jika kota Islam abad ke-8 hingga ke-14 mampu menjadi kota taman tanpa teknologi modern, maka krisis kota hari ini adalah kegagalan moral dan manajerial, bukan keniscayaan zaman.

 

Konsep Kota dalam Peradaban Islam

Dalam tradisi Islam, kota (madinah) tidak dimaknai sekadar sebagai konsentrasi penduduk atau aktivitas ekonomi. Secara konseptual, madinah berakar dari kata din yang bermakna aturan, tata nilai, dan keteraturan hidup. Dengan demikian, kota adalah ruang peradaban, tempat nilai diwujudkan dalam praktik sosial dan tata ruang.

Beberapa prinsip utama kota dalam peradaban Islam antara lain:

  • Air sebagai amanah ilahi
  • Air dipandang sebagai sumber kehidupan yang harus mengalir, bersih, dan dapat diakses publik. Monopoli air adalah bentuk ketidakadilan.
  • Kebersihan sebagai bagian dari iman
  • Kebersihan bukan slogan moral, tetapi diwujudkan dalam infrastruktur: pemandian umum, sistem drainase, dan pengelolaan limbah.
  • Taman sebagai hak sosial
  • Ruang hijau bukan ornamen kekuasaan, melainkan kebutuhan publik untuk kesehatan jasmani dan ketenangan batin.
  • Keseimbangan fungsi kota Masjid, pasar, taman, lembaga ilmu, dan permukiman hadir secara terpadu, tidak saling menindas.

Prinsip-prinsip inilah yang menjelma menjadi kota-kota indah dalam sejarah Islam.

Baghdad: Madinat as-Salam, Kota Air dan Taman

Baghdad didirikan pada tahun 762 M oleh Khalifah al-Mansur dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun. Kota ini dirancang sebagai kota melingkar (round city).    sebuah desain urban yang canggih untuk zamannya.

 

Baghdad terhubung langsung dengan Sungai Tigris melalui jaringan kanal yang rumit. Air dialirkan ke:

  • kawasan permukiman
  • taman-taman istana
  • pemandian umum (hammam)
  • pusat-pusat ilmu seperti Bayt al-Hikmah

Yang menarik, sistem drainase limbah dipisahkan dari saluran air bersih. Ini menunjukkan kesadaran sanitasi publik yang sangat maju untuk ukuran abad pertengahan.

Baghdad juga dikenal sebagai kota taman. Kebun buah, pepohonan rindang, dan taman- taman publik menjadi bagian dari lanskap kota. Air mancur dan kolam bukan sekadar hiasan, melainkan simbol kehidupan, keseimbangan, dan keberkahan.

Kota ini dibangun agar manusia betah hidup, bukan sekedar bertahan di tengah kepadatan.

-888-

Andalusia: Cordoba dan Granada, Kota Cahaya dan Air

Jika Baghdad adalah jantung dunia Timur Islam, maka Andalusia adalah mahkota peradaban Islam di Barat.

Cordoba: Kota Terang di Tengah Eropa Gelap

Pada abad ke-10 M, Cordoba menjadi salah satu kota terbesar dan termegah di dunia. Ketika sebagian besar kota Eropa masih bergelap dan kumuh, Cordoba telah memiliki:

  • jalan-jalan yang diterangi lampu minyak
  • akses air bersih ke rumah-rumah
  • ratusan hammam (pemandian umum)
  • taman jeruk, bunga, dan kolam air
  • Kebersihan bukan kemewahan, tetapi standar hidup.
  • Granada dan Alhambra: Arsitektur Ketenangan

Di Granada, kompleks Alhambra memperlihatkan puncak estetika kota Islam. Air mengalir di setiap sudut: kanal kecil, kolam reflektif, dan air mancur. Semua dirancang untuk menghadirkan ketenangan dan keseimbangan batin.

Kota tidak dibangun untuk memicu stres, tetapi untuk menenangkan jiwa manusia.

Persia dan Afrika Utara: Kota yang Ramah Manusia

Di wilayah Persia, kota seperti Isfahan berkembang dengan konsep Chahar Bagh boulevard empat taman dengan kanal air di tengahnya. Tata kota ini mencerminkan pandangan kosmologis Islam tentang harmoni antara manusia dan alam.

Sementara itu di Afrika Utara, kota-kota seperti Fez dan Marrakesh dikenal dengan riad: rumah yang memiliki taman dan kolam di bagian tengah. Ruang publik dirancang teduh, sejuk, dan manusiawi.

Kota tidak ditujukan untuk pamer kekuasaan, tetapi untuk melindungi manusia dari panas, kebisingan, dan kekacauan.

Mengapa Kota Islam Klasik Bisa Indah?

Keindahan kota-kota Islam klasik bukan kebetulan. Ia lahir dari beberapa faktor kunci:

Visi Peradaban

Penguasa memandang kota sebagai amanah. Kesehatan, kebersihan, dan kenyamanan warga adalah tanggung jawab moral negara.

Etika Lingkungan

Air, tanah, dan ruang hijau diperlakukan sebagai titipan Tuhan, bukan sekadar komoditas ekonomi.

Tata Kelola Publik

Pengelolaan air, sanitasi, dan ruang kota banyak dikelola melalui negara dan wakaf, bukan sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar.

Kota Modern: Kemajuan Tanpa Jiwa

Ironisnya, banyak kota modern termasuk di negeri-negeri mayoritas Muslim justru kehilangan prinsip-prinsip ini. Kota tumbuh cepat, tetapi nilai tertinggal.

Gejala yang muncul hampir seragam:

  • sampah menjadi krisis kronis sungai beralih fungsi menjadi tempat pembuangan limbah
  • ruang terbuka hijau menyusut drastis
  • kota berbau, bising, dan melelahkan

Semua ini sering dianggap sebagai harga kemajuan. Padahal sesungguhnya, ia adalah krisis etika dan tata kelola.

Pelajaran bagi Kota Hari Ini

Sejarah peradaban Islam klasik memberi pesan yang sangat jelas:

  • “Kota padat tidak harus kumuh”
  • Kota besar tidak harus bau. Kota modern tidak harus kehilangan keindahan.

Yang dibutuhkan bukan sekadar teknologi, tetapi visi moral, kepemimpinan berani, dan tata kelola yang berpihak pada manusia.

 

Penutup

Kota-kota indah dalam peradaban Islam klasik membuktikan bahwa kebersihan, keteraturan, dan keindahan bukan utopia. Ia pernah nyata, hidup, dan berfungsi selama berabad-abad.

Maka ketika kota hari ini gagal mengelola sampah, air, dan ruang hijau, kegagalan itu bukan pada rakyat atau zaman, melainkan pada hilangnya nilai dalam perencanaan kota.

“Jika Baghdad abad ke-9 mampu menjadi kota taman tanpa teknologi modern, maka kota abad ke-21 yang bau adalah kegagalan moral, bukan teknis”

والله اعلم بالصواب

C14122025, Tabik 🙏

Referensi :

  1. Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam. University of Chicago Press.
  2. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge University Press.
  3. Al-Sayyad, Nezar. Cities and Caliphs: On the Genesis of Arab Muslim Urbanism. Greenwood Press.
  4. Bloom, Jonathan M. & Blair, Sheila S. Islamic Arts. Phaidon Press.