Oleh: H. Agus Jaya, Lc. M.Hum

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an al-Ittifaqiah (STITQI)

Kemerosotan moral telah menjadi fenomena umum yang melanda umat manusia era post modern saat ini. Peradaban barat yang menyuarakan freedom (kebebasan) justru yang pertama mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya barat yang sudah mengalami kerusakan moral itu justru menjadi trend di negeri-negeri muslim. Akibatnya, budaya lokal masyarakat muslim terkontaminasi dengan budaya barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat.

Fenomena yang terjadi saat ini telah diingatkan Allah swt dalam al-Qur’an. Allah swt berfirman: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al-baqarah: 120). Kata “Millah” pada ayat ini bisa memiliki arti agama, tetapi juga terbuka peluang lain mengartikannya dengan budaya, sehingga standar minimal yang diupayakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani (dalam hal ini barat) adalah memasukkan budayanya kepada masyarakat muslim sebelum terwujudnya pemurtadan.

Jika kita perhatikan perkembangan umat Islam di Indonesia terkini, kita akan temukan dan rasakan betapa dekadensi moral telah menguasai sebagian besar umat Islam, terutama kalangan remaja. Kondisi ini menghantarkan umat Islam yang mayoritas kuantitas menjadi minoritas kualitas. semakin parahnya lagi belum ada konsep yang jelas dalam upaya membendung, megatasi dan menyembuhkan dekadensi moral ini.

Ada beberapa faktor yang melahirkan dekadensi moral anak bangsa ini, diantaranya; Pertama, Kurangnya perhatian dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, sehingga ungkapan ternak tidak pulang sore dicari, anak wanita tidak pulang tengah malam dibiarkan menjadi hal yang nyata. Kedua, Melemahnya peran ulama dan tokoh masyarakat baik karena kesibukan berpolitik ria maupun bisnis pribadi. Ketiga, Konsep pendidikan yang berlaku baru sekedar transfer ilmu pengetahuan dan belum sepenuhnya mendukung pembentukan akhlak mulia. Bahkan program-program besar seperti Ujian Nasional dsb, yang bertujuan mulia meningkatkan kualitas pendidikan namun belum disertai akhlak mulia justru bisa menjadi bumerang terhadap tujuan pendidikan itu sendiri.

Mayoritas generasi muda bangsa ini sudah terjebak fenomena pergaulan bebas (free life style). Tidak bisa dipungkiri, peran media baik cetak maupun eletronik sangatlah dominan dalam memuluskan budaya negative ini. Jika kita perhatikan tayangan televisi yang bertema dunia pendidikan bukannya mengajarkan pendidikan yang ideal, justru melegimitasi pacaran dan pergaulan bebas.

Kaum wanita bangsa ini yang mayoritasnya muslimat telahterseret dalam pola berpakaian jahiliyah, berpakaian tapi telanjang. Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh wanita dijadikan komoditi. Aurat wanita diperdagangkan, dilombakan dan dinilai, Anehnya, dengan penuh antusias, kaum wanita antri minta diekploitasi. Mereka tidak menyadari, bahwa sebelum Islam tiba wanita tidak ada harganya sedikitpun. Kaum laki-laki boleh menikah sepuasnya dan semampunya, ada yang memiliki istri sepuluh, empat puluh dan bahkan seratus. Jika anak wanita yang lahir maka di kubur hidup-hidup dan seorang istri yang ditinggal mati suaminya tidak mendapatkan harta waris bahkan ia menjadi warisan.

Islam datang dan mengagungkan wanita hingga setiap inci badannya merupakan benda berharga yang senantiasa harus ditutup dan dijaga. Ironisnya justru sebagian kaum wanita itu sendiri yang menolak diagungkan dan dimuliakan

Untuk membendung, menangkal dan mengatasi dekadensi moral yang telah mengakar ini, maka gerakan sistematis yang mutlak dilakukan oleh seluruh elemen bangsa baik pemerintah, ulama dan masyarakat adalah:

pertama, menyadarkan kembali para orang tua tentang tanggung jawabnya terhadap keluarga. Karena hal itu merupakan sebuah tanggung jawab berkesinambungan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini bisa ditempuh dengan cara melibatkan para orang tua dalam pendidikan anak dan lingkungan, memotivasi orang untuk tampil sebagai contoh yang baik pada anak dan pada akhirnya orang tua menjadi idola sang anak.

Kedua, memberdayakan tokoh agama semaksimal mungkin, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya dan bukan hanya sebatas melibatkan mereka pada perayaan hari besar agama.

Ketiga,membentuk sistem pendidikan pondok pesantren murni yang berpedoman al-Qur’an dan hadits dengan pengamalan yang benar dengan mengedepankan kualitas bukan kuantitas apalagi hanya sekedar gengsi. Tidak semua instansi pendidikan bahkan pondok pesantren yang bisa menjadi solusi, bisa jadi sebaliknya justru menjadi masalah. Hanya instansi pendidikan dan atau pondok pesantren yang mengedapankan pendidikan akhlak mulia (akhlakul karimah) yang akan tampil sebagai pengobat duka dan lara bathin yang kian hari kian parah. Secara khusus, pemerintah bertanggung jawab dalam pembentukan karakter umat ini dengan pengalokasian dana pendidikan yang seimbang antara pembangunan fisik dan mental, materi dan rohani dan melibatkan seluruh elemen bangsa secara aktif demi terhindarnya bangsa yang kita cintai ini dari dekandensi moral.