Oleh: H. Agus Jaya, Lc. M.Hum

Ustadz Ponpes al Ittifaqiah dan Dosen STITQI Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan

 

Sebagai kewajiban bagi setiap muslim, Shalat memegang peranan penting yang tidak tergantikan, yaitu satu diantara rukun Islam dan memegang peranan sebagai tiang agama. Rasulullah saw bersabda: Islam dibangun di atas lima pondasi, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari). Pokok semua urusan adalah Islam, dan tiang (agama) Islam itu adalah shalat serta puncak ibadahnya adalah jihad di jalan Allah swt (HR.Tirmidzi)

Selain itu, shalat merupakan ritual ibadah yang bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar dan meningkatkan kualitas iman dari mengetahui bersama Allah swt menjadi menghadirkan rasa bersama Allah. Allah swt berfirman:Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS. al-Ankabut: 45).Dan “… dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14).

Urgensi shalat ini sangat tampak dari hadits Rasulullah saw yang menegaskan bahwa shalat adalah perbuatan pertama yang dihisab oleh Allah swt. Rasulullah saw bersabda: Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya benar maka ia beruntung dan selamat, dan jika shalatnya rusak maka ia sia-sia dan merugi. (HR. Tirmidzi)

Demikian juga kemuliaan shalat tampak dengan jelas ketika Allah swt menjadikannya sebagai pembuka dari perbuatan-perbuatan baik sekaligus menjadi penutupnya. (QS. Al-Mu’minun: 1-11).

Perhatian Islam terhadap shalat sangat luar biasa, hingga perintah shalat tetap berlaku dimanapun berada dan bagaimanapun kondisinya baik dalam kondisi mukim maupun dalam perjalanan, dalam kondisi aman maupun perang, tanpa bisa di “korupsi” sedikitpun. Hanya tekhnis shalat yang bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, baik dengan berdiri sempurna bagi yang mampu, duduk, berbaring dan isyarat mata, lalu jika masih tidak mampu melakukan shalat dengan isyarat maka saatnya untuk dishalatkan.

Namun tidak semua shalat akan tampil sebagai penghalau kemaksiatan. Hanya Qiyam as-Shalat atau shalat yang dibangun dengan seluruh aspek bangunannya yang akan berfungsi sebagai pencegah maksiat dan kemungkaran. Shalat yang bukan hanya dikerjakan akan tetapi di serap nilai-nilai pendidikannya untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Diantara hikmah shalat yang menanamkan nilai pemberantasan korupsi adalah: pertama, jumlah rakaat shalat. Shalat yang dilakukan oleh umat muslim memiliki ketentuan rakaat yang tidak bisa ubah kecuali dalam kondisi darurat yang menyebabkannya harus meng-Qashar. Ketika seseorang melaksanakan shalat, maka dilatihlah kejujuran terhadap diri sendiri. Rakaat shalat tidak akan ditambah meskipun ketika shalat diperhatikan oleh orang lain bahkan oleh orang yang spesial sekalipun, dan tidak akan di “korupsi” rakaatnya meskipun shalat sendirian, ditempat yang sunyi dan tidak diperhatikan orang lain. Kepatuhan terhadap komitmen pemberantasan “korupsi” rakaat shalat ini telah tertanam sejak seorang muslim tumbuh, namun sayangnya baru pada tatanan PERDA (peraturan dalam) shalat belum pada aflikasi nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, Thuma’ninah dalam shalat. Yang dimaksud dengan thuma’ninah ini adalah ketenangan beberapa saat setelah seluruh angota tubuh bergerak dengan batas minimal ucapan subhanallah. Undang-undang thuma’ninah dalam sholat ini adalah hal yang mutlak dipatuhi, sehingga tidak sah seseorang yang tidak mengikutinya. Ukuran waktu dalam thuma’ninah ini bukanlah hal yang prioritas, tetapi yang menjadi tolok ukur adalah ketenangan yang sesuai per-“undang-undangan”. Eksistensi thuma’ninah dalam shalat bisa dilihat dari perulangan kata tersebut yang mencapai 3 kali dalam sabda Rasulullah saw tentang al-musi’ fi shalatih” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim) dan sedikitnya 5 tempat pada tekhnis pelaksanaannya di setiap rakaat shalat .

Hikmah dari thuma’ninah yang bisa dipetik adalah seorang musluim hendaklah senantiasa mengikuti perundang-undangan yang berlaku dengan tidak mengkorupsi “ketenangan” dalam shalat, sehingga ketika ketaatan yang berbentuk tenang/diam telah dilaksanakan maka dianggap cukup walaupun dipenuhi dalam waktu yang sangat singkat, dan meskipun telah menelan waktu yang cukup lama, akan tetapi ketenangan/diam belum terpenuhi maka belum dianggap cukup dan mengancam keabsahan shalat.

Seorang yang mendirikan shalat (bukan sekedar mengerjakan shalat) yang ditandai dengan perenungan, meresapi dan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam shalat serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, niscaya akan terhindar dari perbuatan maksiat dan bagi mereka yang terlanjur terjerumus dalam kemaksiatan hendaklah segera bertaubat dengan sesungguhnya (QS. At-Tahrim: 8) yang ditandai dengan penyesalan dan komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut serta di mulai dengan shalat taubat sebagai jalan memohon ampunan kepada Allah swt. Wallahu a’lam.