Di PPI, santri dan walinya yang berasal dari kalangan tradisionalis dan modernis dapat bercengkerama dengan gembira. Belida dan Besemah bisa bercanda. Kain sarung dan celana panjang bisa berjalan bersama. Naghom (ngaji belagu) dan radio bersenandung bersama. Jurmiyah bergandengan tangan dengan fisika. Qiroatul kutub dan internet berpelukan mesra. Di sini tradisonalitas dan modernitas saling menyapa dengan ramah dalam kehidupan yang bersahaja.

Merajut tradisionalitas dan modernitas bagi pondok pesantren al-Ittfaqiah (PPI) Indralaya yang dikenal masyarakat dengan PPI atau Ittifaqiah bukanlah hal yang baru. Tradisionalitas dan modernitas menjadi bagian utuh dari perjalanan sejarahnya.

Bagi Ittifaqiah, terlepas dari berbagai perdebatan seputar kedua terma tersebut, tradisionalitas dan modernitas adalah satu kesinambungan yang utuh dalam artian bahwa yang kedua adalah kelanjutan dari yang pertama. Tradisionalitas dan modernitas dalam perspektif PPI merupakan pengejawantahan dari sikap moderat atau wasaton bukan ekstrim atau radikal sebagaimana yang terkandung dalam istilah  tradisionalisme dan modernisme. Sikap moderat itu juga tergambar jelas dari pilihan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) yang merujuk pada Imam Abul Hasan al-Asy’ary dan al-Maturidi.

Dalam kehidupan pesantren rajutan ini merupakan praktek dari kaidah Ushul Fiqh  “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih” (menjaga tradisi lama yang baik) “wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (mengambil dari yang baru yang lebih baik). Semangat ini pula yang membuat banyak pesantren mampu bertahan dari terpaan zaman bahkan lebih jauh lagi, mampu mengembangkan dirinya dan berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya.

Demikian juga halnya dengan al-Ittifaqiah. Kemampuan beradaptasi dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan jati dirinya sebagai usaha mempertahankan tradisi yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik telah teruji. Meminjam istilah dari tema kegiatan ‘In Service Training Pemberdayaan Madrasah dan Pesantren’, kerjasama PUSPAMAYA al-Ittifaqiah Indralaya, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PUSKADIABUMA PPS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan DANIDA Denmark yang pernah dilaksanakan di PPI pada tahun 2005, “Kita Maju tanpa Meninggalkan Tradisi”.

Sejarah  al-Ittifaqiah  juga menunjukkan hal itu. Cikal bakalnya saat masih berada di Sakatiga yang sebelumnya bernama Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga, pada tahun 1962 diubah menjadi Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga, karena menyesuaikan dengan peraturan Departemen Agama waktu itu.

Tingkatan pendidikannya terdiri dari tingkat Tsanawiyah (setara SMP) dengan masa belajar 4 tahun dan tingkat Aliah (setara SMA) dengan masa belajar 3 tahun. Pada era ini, K.H. Ahmad Qori Nuri selaku pimpinan, melakukan modernisasi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran umum, sesuai perkembangan zaman itu. Mata pelajaran umum untuk tingkat Tsanawiah disesuaikan dengan tingkat SLTP, sedang untuk Aliah disesuaikan dengan SLTA. Ciri khasnya yang berupa pembelajaran kitab-kitab kuning dan ‘Ilmu-ilmu Alat’ terus dipertahankan.

Kitab-kitab kuning itu sendiri sebetulnya telah dipakai sejak sebelum tahun 1922 yang dibawa K.H. Ishak Bahsin dari perguruan al-Azhar Mesir sebagai almamaternya. Pada masa itu K.H. Ishak Bahsin melaksanakan pengajaran ilmu-ilmu keislaman di rumah beliau di Sakatiga. Sistem yang digunakan masih bersifat tradisional, non klasikal, non madrasah. Inilah embrio dari madrasah formal yang beliau dirikan pada tahun 1922 yang kemudian dinamai dengan Madrasah Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah di Sakatiga, sebuah madrasah formal dengan masa belajar 8 tahun. Madrasah ini juga kemudian berubah nama menjadi Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga pada tahun 1949.

 

Maju tanpa meninggalkan tradisi

Penggunaan istilah ‘Pondok Pesantren’ yang kemudian melekat dengan nama al-Ittifaqiah juga sebetulnya menggambarkan semangat lembaga ini merajut tradisonalitas dan modernitasnya. Istilah tersebut baru digunakan pada tangal 11 Maret 1967.

Awalnya terma ‘Pondok Pesantren’ sendiri sebetulnya bagi masyarakat Sumatera Selatan, bukanlah prase yang akrab di telinga mereka untuk menggambarkan sosok lembaga pendidikan Islam. Walaupun dalam sejarahnya lembaga tersebut relatif  memiliki kesamaan system dan materi pelajaran dengan pesantren di pulau Jawa, masyarakat Sumatera Selatan lebih mengenalnya dengan istilah ‘Madrasah’. Maka tidaklah mengherankan bila secara geneologis perjalanan nama al-Ittifaqiah di masa lalu akrab dengan kata itu.

Dimulai dari 1922 bernama Madrasah Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah di Sakatiga yang dipimpin oleh K.H. Ishak Bahsin. Kemudian pada 31 Agustus 1950 berubah dengan nama Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga yang dipimpin oleh K.H. Ismail Mahidin. Selanjutnya, pada tahun 1962, nama SMI diubah menjadi Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga.

Dalam era ini, MMA mengalami kemajuan pesat sesuai zamannya. Jumlah santri mencapai 527 orang. Mereka berdatangan tidak hanya dari Sumatera Selatan tetapi juga dari propinsi-propinsi lainnya. Sakatiga demikian harum dan terkenal berkat keberadaan dan prestasi MMA, sehingga Sakatiga digelari sebagai ‘Mekah Kecil’.

Akan tetapi pada tahun 1967 muncul ide beberapa guru MMA Sakatiga untuk menjadikannya Madrasah Negeri dan menyerahkannya kepada pemerintah. K.H. Ahmad Qori Nuri dan murid-murid K.H. Ishak Bahsin di Indralaya seperti H. Ahmad Rifa’i bin H. Hasyim, H. Nurhasyim Syahri, H. Hasanuddin Bahsin, (waktu itu sebagai Kerio/Kepala Desa Indralaya) dan Hajiro Burhan memandang bahwa MMA Sakatiga pada hakikatnya lanjutan usaha jihad K.H. Ishak Bahsin, yang jika dinegerikan dan diserahkan kepada pemerintah akan kehilangan nilai-nilai sejarahnya.

Untuk memelihara nilai-nilai sejarah dan keberkahan K.H. Ishak Bahsin, maka murid-muridnya tersebut dengan dukungan penuh pengusaha-pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat Indralaya menyepakati permintaan. Maka pada 10 juli 1967 resmi berdiri MMA al-Ittifaqiah di Indralaya, dan mendapat surat izin / persetujuan Inspeksi Pendidikan Agama Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Selatan tanggal 28 juli 1967, No. 1796/AI/UM/F/1967. Sedang MMA Sakatiga berubah status menjadi MAAIN (sekarang MAN Sakatiga) dan MTsAIN (sekarang MTsN Sakatiga).

Sepuluh tahun kemudian, saat pemerintah menawarkan agar MMA menjadi madrasah murni pada dengan kewajiban untuk memakai kurikulum madrasah Departemen Agama secara penuh dengan meninggalkan kitab-kitab kuning (al kutub al turotsiah) maka K.H. Ahmad Qori Nuri sebagai pimpinan lembaga menolak dan tetap konsisten mempertahankan tradisi dan mengambil kebaikannya dengan memilih model pendidikan Pondok Pesantren yang tetap mempertahankan kajian  kitab kuning sebagai ciri khasnya. Maka pada tanggal 11 Maret 1976 MMA al-Ittifaqiah berubah status menjadi Pondok Pesantren al-Ittifaqiah (PPI) Indralaya hingga saat ini.

 

Menyerap modernitas

Modernitas bagi PPI adalah sebuah semangat untuk selalu memperbaiki diri. Semangat kebaruan itulah yang diresapi bukan nilai-nilai sekularisme yang membesarkan modernisme dalam bingkai budaya ‘Eropa’ dengan visi westernisasi.

Modernitas dalam pandangan PPI lebih merupakan pilihan tindakan untuk selalu melakukan yang terbaik agar selalu dapat menjadi lebih baik. Modernitas berjalan dalam bingkai ‘al-Ihsan’. Dalam ungkapan Andre Wongso “If better is posible,  good is not enought” (Bila yang lebih baik mungkin dilakukan maka yang baik saja tidak cukup).

Sebagaimana telah diulas bahwa semangat pembaruan untuk menjawab tantangan zaman telah menjadi bagian dari sejarah PPI. Penambahan materi pelajaran umum saat masih bernama MMA Sakatiga menegaskan semangat itu.

Paradigma itu terus menjadi warisan intelektual al-Ittifaqiah hingga kini. Ini juga menegaskan semangat keilmuan PPI. Sebagaimana mana Imam ghozali, PPI tidak pernah memandang ilmu dengan kaca mata yang terbelah. Sebab ilmu berasal dari sumber yang sama. Allah. Karena itu di tingkat Aliyah diadakan jurusan IPS dan IPA.

Bahwa ada ilmu yang harus dipahami lebih dahulu itu berkaitan dengan strategi dan orientasi pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan adab dan akhlakul karimah sebagaimana tujuan risalah Rosulullah untuk penyempurnaan akhlak yang mulia.

Karena itulah pendidikan di PPI berorientasi individu. Hal ini berkenaan dengan ajaran Islam yang sangat menekankan pendidikan individu. Sebab individu yang terdidik dengan baik dalam bingkai pendidikan adab atau akhlak akan menciptakan masyarakat yang berkeadaban. Demikian juga dalam dunia pendidikan, penyerapan ilmu yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia dengan Tuhan, manusisa dengan manusia dan alam semesta serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta harus mendapat porsi pertama di tahap awal pendidikan. Dalam bahasa Naquib al-Attas ilmu tersebut termasuk dalam rumpun ilmu Fardlu ‘Ain. Di luar ilmu itu termasuk ilmu  Fardlu Kifayah.

Ilmu yang pertama menjadi benteng bagi ilmu yang kedua agar ilmu itu tetap terjaga dalam bingkai ibadah untuk mencari keridoan Allah guna kemaslahatan semesta. Dengan demikian aktifitas mencari ilmu itu  bukan hanya menjadi aktifitas kognitif, afektif dan psikomotorik tapi juga menjadi kerja ruhani. Ilmu yang dimiliki, karena itu, merupakan alat untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Mahapencipta.

Dengan bekal semacam itulah PPI bergerak menyerap modernitas dalam rangka membangun manusia yang berkeadaban. Dan sejak YALQI mengangkat K.H. Mudrik Qori, MA sebagai mudir gerakan modernisasi di PPI semakin gencar. Penguatan sumber daya manusia, organisasi, manajemen, jaringan, pendanaan, sarana prasarana dan program pendidikan terus dilakukan. Dengan dukungan penuh ketua YALQI ustaz mubarok Hanura, SH yang kemudian dilanjutkan oleh ketua YALQI selanjutnya Drs. K.H. Syamsul Bahri HAR, segenap stakeholder al-Ittifaqiah, menjadikan PPI hingga saat ini semakin dipecaya, maju dan berprestasi (lihat rubrik ‘Profil PPI’).

Modernisasi ini juga menyentuh kelengkapan jenjang pendidikan. Di tahun 2000 lahirlah Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an al-Ittifaqiah (STITQI) dan Taman Kanak-kanak Islam al-Itifaqiah (TAQIAH). Dilanjutkan lagi dengan pendirian Madrasah Ibtidaiyah al-Ittifaqiah (MASTIAH).

Untuk mengembangkan jaringan dibentuk lembaga otonom Pusat Pengkajian Agama Masyarakat dan Budaya (PUSPAMAYA), Avicena Institute, Persatuan Wanita Pondok Pesantren al-Ittifaqiah (PERWAPPI) dan Pusat Pemberdayaan Perempuan (PUSDAP).

Untuk pemberdayaan ekonomi rakyat dan penguatan ekonomi PPI dibentuk Lembaga yang Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat (LM3) dan Pusat Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PUSDEM), selain Koperasi Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.

Selanjutnya, untuk kepentingan publikasi dan dakwah muncullah Lembaga Publikasi al-Ittifaqiah yang membidani lahirnya ‘Radio Dakwah Ittifaqiah’ yang mengudara di frekuensi 96,3 FM. Tak ketinggalan pula untuk akses informasi PPI memperkuatnya dengan jaringan internet dan hotspot berkapasitas 2MB.

Begitulah, berkah penyerapan modernitas telah melahirkan modernisasi yang berujung pada kemajuan di PPI.

 

Revitalisasi tradisi keislaman

                Keterlibatan PPI dalam berbagai aktivitas keagamaan tradisional, sesungguhnya memiliki peran signifikan dalam revitalisasi tradisi keislaman. Karena lewat berbagai tradisi itu pesan-pesan keislaman yang universal terbumikan dalam kehidupan masyarakat lokal. Seperti pesan syukur diartikulasikan lewat syukuran. Pesan sodaqoh lewat sedekahan. Pesan ingat mati lewat yasinan, tahlil, niga, nujuh dan lain-lain. Dalam kerangka itulah maka hingga saat ini, PPI masih mempertahankan pembelajaran ilmu alat. Secara umum, hal itu merepresentasikan ajaran tentang silaturahim. Bukan hanya bertemu secara fisik tapi juga dipersatukan secara ruhani.

Ilmu alat di kalangan pesantren lazimnya merupakan ilmu yang menjadi alat dasar untuk memahami ajaran-ajaran keislaman dari sumber otentiknya. Ilmu-ilmu kebahasa-Arab-an, misalnya.  Pengertian ilmu alat yang dimaksud di sini sebagaimana berkembang di kalangan alumni PPI, melebar pada ketrampilan  dalam mengimami tradisi ritus sosial keagamaan.

Beberapa contoh yang hingga kini masih diwajibkan di PPI antara lain: Imam, zikir dan doa dalam solat lima waktu, ceramah dan khutbah, yasin, tahlil dan doa bersama, azan dan bilal, dan naghom (ngaji belagu) dan hafalan Juz ‘ammah. Selain ketrampilan wajib itu, kerampilan lain juga diajarkan, seperti barzanji dan qiro’ah sab’ah.

Kegiatan-kegiatan tersebut dikelola oleh Lembaga Dakwah dan Pengabdian pada Masyarakat (LEDAPMAS), Lembaga Tahfdz Tilawah dan Ilmu al-Qur’an al-Ittifaqiah (LEMTATIQI) dan biro Peribadatan dan Pengasuhan (DATSUH). Setiap akhir semester, sebelum ujian lisan dan tulis dilaksanakan, semua ketrampilan tersebut diujikan.

Selain diujikan, santri yang mahir dalam ketrampilan tersebut disertakan dalam Safari Dakwah. Mereka juga diutus untuk memenuhi permintaan masyarakat untuk mengisi berbagai kegiatan keagamaan tradisional. Hal ini dilakukan selain untuk mengukur kemampuan santri juga untuk menyiapkan mental mereka agar terbiasa terjun dimasyarakat mengamalkan berbagai kemampuan yang dimiliki. Seluruh kegiatan ini dimotori dan dikelola oleh LEDAPMAS.

Dimotori oleh LEMTATIQI, PPI terlibat secara intensif dan massif dalam ajang Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) dan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ). Mulai dari tingkat Kabupaten hingga Nasional. Khusus untuk ajang MTQ yang dilaksnakan dua tahun sekali, dengan variasi cabang lomba yang lebih banyak dari STQ, setelah melalui seleksi, 200-an santri dan guru PPI dikirim untuk memenuhi permintaan sebagai peserta yang mewakili berbagai kecamatan, kabupaten dan provinsi di wilayah Sumatera Bagian Selatan.

Beragam kegiatan tersebut, bagi PPI merupakan warisan tradisi yang layak dijaga dan dilestarikan bahkan mungkin dikembangkan. Lebih jauh lagi PPI juga mulai berupaya ‘meng-Islam-kan’ tradisi dan mentradisikan ‘Islam’. Usaha tersebut dimulai dari personalia PPI sendiri. Salah satunya dengan mentradisikan ‘khotaman al-Qur’an’ dalam berbagai kegiatan perayaan yang telah jamak dilakukan masyarakat. Seperti perayaan ulang tahun, kelulusan, pernikahan dan berbagai ekspresi kebahagian lainnya.

 

Kanal ruhani sosial

                Membekali santri dengan berbagai ilmu alat  dan ketrampilan ritus sosial keislaman, menegaskan tujuan khusus PPI untuk menyiapkan santri menjadi insan Kamil yang beriman dan bertakwa kokoh, berakhlakul karimah, berilmu dan berwawasan luas, berketrampilan tinggi dan berjiwa mandiri yang siap menjadi pembimbing dan pemimpin umat serta penebar rahmat.

Pada saat yang sama, hal itu juga menggambarkan kepedulian PPI terhadap tradisi lokal muslim Indonesia. Berkaitan dengan tradisi itu, pilihan PPI untuk berada di garis terdepan gerbang tradisi keislaman lokal itu sesungguhnya juga dalam rangka menjaga kelestarian  ‘Kanal Ruhani Sosial’ masyarakat Sumsel khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kanal tersebut harus selalu dibersihkan dengan menanamkan nila-nilai keislaman agar air ruhaninya dapat mengalir terus ke dalam hati setiap muslim Indonesia yang akan mempertautkan mereka dalam kedamaian  rahmat dan berkah Allah. Dengan menjaganya berarti juga menjaga ikatan emosional masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam dan ulama.

Kanal itu juga berperan sangat signifikan dalam mengairi taman hati yang kering yang setiap hari dihantam oleh angin panas globalisasi yang membawa pesan-pesan konsumerisme, liberalisme, individualisme dan keterpecahan diri. Pesan-pesan tersebut berasal dari rahim sekularisme yang menjadi induk globalisasi yang penuh basa-basi yang menyembunyikan kedok budaya pop westernisasi.

Sekularisme yang telah berhasil mendepak ‘Tuhan Barat’ dari singgasananya berprasangka bahwa hidup cukup dengan materi. Filosofinya menghasilkan kesimpulan manusia hanya jasad tanpa ruhani sehingga segala aktivitas tak perlu kehadiran Ilahi. Tujuan hidup terjerembab dalam kehampaan. Nihilisme menjadi acuan.

Semua akhirnya tanpa nilai ketuhanan apalagi agama. Jargon-jargon kering bermunculan. Ilmu untuk ilmu. Seni untuk seni. Politik untuk politik dan lain sebagainya. Agama hanya dianggap sebagai bagian dari budaya pop yang bisa diuangkan. Agama menjadi komoditas pasar yang dijual bebas. Apapun komersial agar bisa menghasilkan sebanyak mungkin materi. Dalam kompetisi penumpukan materi ini, instanisme menjadi rujukan. Semua menjadi sangat rakus dan serakah sehingga menghalalkan segala cara.

Begitulah asupan imaji manusia terkini sehari-hari. Porsi kebutuhan ruhani tidak mendapat asupan yang berarti.  Manusia kesepian di tengah keramaian materi tanpa tahu tempat kembali. Taman hatinyapun mati.

Fakta-fakta ini sesungguhnya menempatkan manusia dalam kondisi kritis. Dalam konteks Indonesia, hal ini sudah nyata dan hadir di depan mata. Secara perlahan ikatan sosial yang kuat itu mulai melemah, tergerus oleh kesibukan pribadi untuk mengejar materi. Kelelahan fisik dan psikologis yang sebetulnya muncul karena kegersangan ruhani diatasi dengan hura-hura di dunia hiburan tanpa ada yang mengingatkan.

Disinilah pentingnya tradisi keislaman tersebut di atas. Mereka dipertemukan dalam jalinan silaturrahim. Beramah tamah sambil mengisi ruang-ruang kosong di dalam hati dengan pesan-pesan ruhani yang akan selalu mengingatkan bahwa mereka juga mahluk ruhani dan kepada siapa kelak mereka seharusnya akan kembali. Mengingatkan mereka juga bahwa ada ‘batas-batas’ yang takkan terlampaui.

Biarkan tradisi itu terus hidup untuk menjaga masyarakat muslim Indonesia. Menjaga rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Sebab sejatinya orang Indonesia adalah manusia relijius, agamis dan sosialis, bukan nihilis, ateis dan individualis. Dan PPI akan selalu berada di gerbang termuka untuk menjaganya.

Sumber: http://stitqi.ittifaqiah.ac.id/al-ittifaqiah-merajut-tradisonalitas-dan-modernitas/