Saat menjemput si sulung di sekolah, tak sengaja mendengar perbincangan dua orang ibu.
” walau saya guru, saya masih bingung juga bagaimana harus mengajar anak saya” katanya.
“saya salut dengan guru-guru yang TK yang begitu sabar mengajar anak-anak padahal rata-rata mereka masih lajang” lanjutnya lagi

Ibu yang satu nya menimpali “eh bu, anAk guru gak berarti pintar kan, tetangga saya contohnya walau kedua orang tuanya guru tapi anak-anak nya gak ada yang pinter buktinya gak ada yang sekolah di negeri”

“terus sekolah dimana bu?” tanya ibu yang pertama

“semua anak nya sekolah di pondok pesantren”

deg, ingin sekali aku menimpali jawaban ibu itu, emangnya anak yang sekolah di pesantren karena gak pinter. tapi ku urungkan karena si Ayuk sudah menarik-narik tas ku minta pulang.

Prihatin dan sedih mendengar stigma negatif itu. begitu banyak orang yang masih menggangap kalau masuk pesantren itu dianggap tidak pintar, terbelakang dan tidak prestisius. Saya yang memang tidak ada latar belakang pondok, setelah sekian lama berkecimpung dan menjadi bagian pondok baru menyadari betapa tidak beruntung nya saya yang tidak pernah mengecap pendidikan di pondok pesantren.
Ada banyak kemungkinan-kemungkinan indah yang saya bayangkan kala ini seandainya dulu saya menimba ilmu di pondok. dari mungkin saya bisa jadi qori’ah, penceramah atau lebih indah lagi menjadi seorang hafizoh.ehemmm…..

Tapi waktu memang tidak bisa di ulang, yang bisa dilakukan mungkin mewujudkan impian itu pada anak-anak saya nantinya. Amin. walaupun masyarakat akan mengecapnya sebagai anak yang tidak pintar. Tidak apalah, biaralah kami buruk dalam pandangan manusia tapi tidak dalam pandangan Mu ya Rabb….

Saya ingin mengutip satu kalimat dari seorang wali santri ketika saya tanya mengapa menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren.
” Ustadza, tantangan ke depan bukan hanya tentang persaingan hidup, tetapi lebih jauh dari itu, bekal apa yang akan kita dibawa setelah kehidupan itu sendiri”.

__________
http://ferryheryadi.blogspot.com/search/label/Ummi