Seorang teman dengan berapi-api mengadukan masalahnya. Dia merasa terhina karena dipermalukan di depan orang banyak oleh seorang ibu yang bergelar “Hajjah” dan cukup terpandang didaerahnya.

Kejadiannya bermula saat dia menjadi panitia suatu perayaan pernikahan. Sang teman tadi melakukan kesalahan sepeleh. Hanya soal menyusun lalapan di piring prasmanan. Sang hajjah yang kebetulan koordinator konsumsi marah karena merasa susunannya tidak sesuai dan sayur rebusnya terlalu matang. Sang teman tadi merasa begitu sedih karena dimaki-maki depan orang banyak dengan kata-kata pedas yang seharusnya tidak keluar dari mulut seseorang yang pernah bertamu ke rumah Allah. Saking sakit hatinya, dia langsung pulang sebelum perayaan itu berakhir.

Saya tidak kaget mendengar cerita itu, karena hal demikian sering terjadi di lingkungan masyarakat kita. Tak jarang kita mendengar komentar-komentar orang tentang si A yang katanya hafal Al-Quran kok kalau marah mulutnya pedas sekali. Si B yang suka ceramah kok suka menceritakan aib keluarga sendiri. Si C yang katanya anak kyai tapi suka menghina orang dan lain sebagainya.

Memang sulit sekali mengendalikan lidah bagi perempuan, jadi wajar saja jika dalam sebuaH riwayat disebutkan kalau kebanyakan penduduk neraka nanti adalah perempuan dan alasan utamanya karena tidak bisa menjaga lidah.

Ketika menulis ini saya tidak bermaksud untuk menghujat seseorang atau pribadi tertentu. Tidak dipungkiri kalau saya juga orang yang banyak bicara. Sering terpancing atau mengibah dan suka terpengaruh gosip-gosip murah. Saya hanya ingin menjadikan ini sebagai pelajaran khususnya bagi diri saya pribadi. Betapa ekspektasi orang terhadap seseorang yang “terpandang baik” di masyarakat haruslah juga memiliki sifat dan sikap yag baik pula.

Seorang tukang bangunan menyakiti fisik anak-anak bisa diterima oleh masyarakat tapi seorang ustad yang tega melakukan kekerasan terhadap anak-anak dianggap keterlaluan.

Kita menyandang gelar lengkap dengan konsekuensi yang harus kita jalankan sebagai pertanggungjawaban dihadapan masyarakat dan umat. Maka bersyukurlah karena dengan status yang kita sandang menjadikan kita arif dalam melangkah, santun dalam bertingkah dan hati-hati dalam menjaga lidah. Termasuk juga dalam perkataan non verbal seperti dalam SOSIAL MEDIA misalnya.
wallahu’alam.

http://ferryheryadi.blogspot.com/search/label/Ummi