H. Agus Jaya, Lc., M.Hum

Pengasuh PP. Al-Ittifaqiah dan Dosen STITQI Indralaya Ogan Ilir Sumsel

 

Idul Fitri adalah satu hari yang dirayakan oleh Umat Islam setelah selesai menunaikan puasa Ramadhan, idealnya hari raya tersebut bukan hanya menjadi moment untuk saling memaafkan kesalahan sesama melalui silaturrahmi tapi juga menjadi simbol kebersamaan ummat Islam yang tampak dalam kebersamaan bertakbir, tahmid tahlil dan hadir melaksanakan sholat, tegak rapih dalam shof tanpa membedakan status sosial, ekonomi, suku, bangsa, warna kulit dan usia.

Umat Islam Indonesia memang telah mampu berdiri lurus dalam shof dengan kumandang takbir, tahmid dan tahlil yang sama namun ironisnya umat Islam Indonesia terkadang belum mampu menyatukan pendapat mengenai hari Idul Fitri itu sendiri.

Mungkinkah akhir Ramadhan terjadi dua kali dalam satu tahun pada satu wilayah?

Logiskah hari raya Idul Fitri terjadi dua kali pada tahun yang sama di wilayah kecil (kabupaten/propinsi) yang sama ?

Rasulullah saw telah menuntun kita untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan dalam sebuah haditsnya : dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “mayoritas jumlah malam dalam satu bulan adalah dua puluh sembilan hari, maka janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal, jika hilal tidak tampak maka hendaklah sempurnakan jumlah bulan (sya’ban) menjadi tiga puluh hari. HR. Bukhori, hadits ke 1907. dalam hadits lain, Abu Hurairoh berkata, Rasulullah saw bersabda “hendaklah kalian mulai berpuasa setelah melihat Hilal, dan hendaklah berhenti puasa juga setelah melihat Hilal, jika hilal tidak tampak maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari (sebelum memulai puasa). HR. Bukhori, hadits ke 1909. dalam riwayat Muslim, dari Abu hurairoh ra, Rasulullah saw bersabda : “jika kalian melihat Hilal (bulan Sya’ban) hendaklah kalian berpuasa, dan jika melihat Hilal pada (akhir Ramadhan) hendalah berhenti puasa, jika Hilal itu tidak tampak maka hendaklah sempurnakan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari. HR. Muslim, Kitab As-Syiam no : 1081, hadits ke 17.

Dalam hadits ini Rasulullah menuntun kita dalam menentukan permulaan dan akhir Ramadhan yaitu : Pertama; Ru’yat, (melihat Hilal), Hilal adalah proses alam yang senantiasa tejadi setiap awal bulan, hanya mungkin saja proses tersebut tidak tampak karena adanya faktor-faktor lain seperti cuaca dsb. Kedua; Hisab, melengkapkan hitungan hari dalam satu bulan menjadi tiga puluh hari, hal ini sebagai alternatif jika hilal tidak tanpak.

Jika kita cermati tuntunan Rasulullah pada hadits diatas, tampaklah hadits tersebut tidak hanya menunjukkan tuntunan memulai dan mengakhiri puasa tapi juga menuntun kita untuk senantiasa berprasangka baik, percaya dan penuh penghargaan terhadap sesama. Argumen ini tampak pada perintah Rasulullah (dalam hadits riwayat Muslim diatas) untuk semua sahabatnya berpuasa walau yang melihat Hilal tersebut hanya seorang, perintah tersebut mendidik para sahabat senantiasa percaya, berprasangka baik dan penuh perhargaan terhadap sahabat yang telah melihat hilal tersebut. Karena tidak logis jika Ramadhan mulai dan berakhir dua kali pada wilayah yang sama di tahun yang sama. Penulis tidak meragukan kedalaman ilmu dan kecanggihan alat yang digunakan untuk menentukan jatuhnya Idul Fitri baik tahun-tahun lalu maupun tahun 1431 H ini, tapi adanya perbedaan pada penetapan hari Idul Fitri ini memberikan dampak negatif dengan menimbulkan kebingungan pada ummat dan menunjukkan kurangnya kepercayaan kita terhadap badan rukyat yang ada.    Memang sisi positif perbedaan pendapat tentang hari Idul Fitri melatih untuk saling menghargai pendapat, namun naifnya tidak seharusnya persepsi yang bisa disamakan/disatukan malah menjadi berbeda.

Aktualisasi dari hadits diatas bisa bisa terwujud jika kita bisa merendahkan diri untuk duduk bersama, tanpa mengedepankan pendapat pribadi/golongan, karena penulis yakin berpaling dari kebenaran (jatuhnya hari raya sesuai keyakinan pribadi/golongan) menuju kebenaran lain (persamaan ijtihad demi kepentingan bersama yang lebih besar) bukanlah sebuah nista.

Solusi untuk menghindari terulangnya fenomena perbedaan pendapat tentang mulai dan akhir puasa Ramadhan hendaklah dengan cara memprofesional dan memproporsionalkan badan rukyat Departemen Agama Republik Indonesia dengan cara mengakomodir para tokoh agama dan tokoh-tokoh ormas-ormas yang ada untuk duduk satu meja dibawah naungan resmi pemerintah Republik Indonesia.

Demikian juga sebaiknya pemerintah melarang masyarakat untuk mengeluarkan fatwa tentang awal dan akhir puasa sebelum melalui badan resmi yang telah mengakomodir seluruh kompenen yang berkaitan. Dengan cara sentralisasi ini Insya Allah perbedaan pendapat semakin diminimalisasi. Wallahu a’lam.